Goldman Chief give up bonuses (but other don’t)


After months of internal debate at goldman, the seven top executive at the firm, including CEO Lloyd Blankfein, ask the board compensation committee to grant them no bonuses. The board approved the request.
The executives will only be eligible for their base salaries, $600,000 for each. A firm spokesman said the executives felt it was “the right thing” to do.
“while the firm has distinguished itself through many aspects of the crisis, we cannot ignore the fact that we are part of an industry that is directly associated with the ongoing economic distress,” the firm spokesman said.
Just a year ago firms across wall street were still more or less untouched by the mortgage meltdown and were ringing up record profits. Blankfein took home $68.5 million in cash and stock in 2007, a record pay day for the head of a publicly securities firm.
But over the past year, mortgage – related losses have slammed the firms, starting in march 2008 with shotgun marriage of bear stearns cos. To J.P. Morgan Chase & co. then in September, Lehman Brother Inc, filed for bankruptcy protection, and Merril Lynch agreed to be bought by Bank of America Corp.
Goldman has fared better than other firms, but its stock is down more than 60% this year. Analysts are predicting it is on course to post its first quarterly loss a public company in December 2008, when it reports its fourth-quarter earnings.
At many financial firms, about half of all revenue is allocated to compensation, and multi-million-dollar bonuses are routinely paid out to ensure the best talent stay put. Top traders and bankers on wall street typically make a base salary of about $250.000, with the rest coming as a bonus. Employees tend to get their bonus numbers in the first two weeks of December – with the cash coming early in the new year.
Since the start 2002, Goldman, Morgan Stanley, Merril, Lehman, and Bear have paid a total of $312 billion in compensation and benefits to its employees. But this compensation model has come under pressure since the treasury Department recently announced plans to inject capital into financial institutions. Goldman is among the initial nine companies getting a combined $125 billion in government capital, which has fueled worries that taxpayer funds will be used to essentially subsidize wall street bonuses.
Regulator, including new York attorney General Andrew Cuomo, have asked firms for information about compensation plans. Cuomo said the Goldman Sachs “has taken the important step in the right direction,” adding, “we strongly encourage other banks to follow Goldman Sach step’s”.
That advice, however, does not seems to have been followed. The January 28, 2009, report on Wall Street bonuses by New York State Comptroller Thomas DiNapoli found that overall, bonuses fell 44% in 2008 – yet the size of the securities industry bonuses pool, estimated at $18.4 billion, was the sixth-highest on record.
The report comes at a time when any report of Wall Street excess – whether it’s reported $1.2 million former Merrill Lynch CEO John Thain spent to redecorate his office last year or the $50 million business jet Citigroup had on order until this week – is being used by critics as an example of unfettered greed that the financial collapse has done little to curtain.
Than resigned from Merrill acquirer bank of America following reports that Merrill paid billion of dollar in bonuses late last year, even as it was about to report a $15 billion fourth-quarter loss and while Bank of Amerika was seeking more federal funds because of the Merrill losses. New York’s attorney general is probing the bonuses payment as well as executive compensation practices at firms that received federal funds.
In brief but stern remarks in the Oval Office, President Barack Obama called the bonuses “shameful” and “the height of irresponsibility.” Obama, sitting with the treasury secretary Timothy Geithner, made clear the executive compensation – already expected to be a central focus of the new congress – would be a key factor in his economic team’s proposals to stabilize the financial system and improve regulation in the sector. But “part of what we’re going to need is for folks on wall street who are asking for help to show some restraint, and show some sense of responsibility,” he said.
As Washington policymakers are struggling to come up with solutions to the financial crisis, the pay issues is moving to the forefront. Alice Rivlin, a former director of the Congressional Budget Office, told the national club in Washington that she was surprised by Citigroup’s effort to go ahead with the jet purchase and by thain’s “tin ear for the right to do in the circumstances.” Rivlin added: “we have created the culture of people at the top (companies) who are disconnected from rest of world, people who don’t talk to ordinary people. I know some of them, I’m on corporate boards with them. They’ve somehow got to get reconnected to the real world – and a lot of them will be, because they are losing their jobs.”
Meanwhile, the idea of paying bonuses after many firms have collapsed or required bailouts unleashed a torrent of criticism on the web. As one commenter wrote on the New York’s Times Web site, “This is hard to believe and impossible hanging head with shame. Instead, it plunges forward with made self-enrichment at the expense of the rest of country, even the rest of the world.”

Petuah Ayah Di Hari Pertama Tembaru

Burung tetap berkicau di Jakarta, Nak
Kendati dalam sangkar yang memperkosanya
Bicaralah walau engkau merasa takut, Nak
Supaya lepas judekmu dari kesumpekan
Atau ketertekanan batinmu oleh kurungan
Sebab, kata-kata tak pernah mubazir, Nak
Betapapun kata-kata sering hilang daya
Lantaran kata-kata telah dipakaikan baju
Dan kata-kata terbiasa bersolek
Aduh, Nak
Jika engkau punya air mata, nangislah, Nak
Di Jakarta, seperti di banyak kota dunia
Orang memilih peran sebagai ular
Makan kenyang lantas tidur sekian bulan
Sambil menanamkan rasa takut
Atas nama keadilan
Dengan cara hendak melilit-menerkam
Engkau sudah dengar kata-kata bijak ini, Nak
Bahwa orang cari kemenangan di pengadilan
Dan keadilan diperlombakan seperti festival
Siapa kuat dia otomatis benar
Engkau pun sudah dengar amsal itu, Nak
Bahwa di tempat orang perjuangkan keadilan
Justru disitu Berjaya ketidakadilan
Aduh, Nak
Jika engkau menangis, Nak
Anggaplah engkau menyanyi
Kerna di ratap yang tumbuh atas sukma
Bisa berbuah batu karang yang teguh
Seperti engkau lihat dalam peradaban
Perubahan lahir dari pengorbanan
Ia tidak tercipta dari kemanjaan teruna
Maka jika engkau remaja, berhenti manja, Nak
Yang engkau perlu kasih, bukan kasihan
Tapi hasilkan manfaat, bukan mudarat

Sebab, akan tumpah darah dari langit, Nak
Mengalir dari gunung ke laut
Mematikan sawah dan lading
Terbunuh ternak dan peliharaan
Dan orang kenyang akan kelaparan
Lalu orang miskin akan dimuliakan
Duduk sebagai pengantin dengan baju indah
Disalami dengan doa-doa selamat
Aduh, Nak
Jangan tutup mata atas pelangi di siang, Nak
Sebab ia berikan isyarat hari depan
Sebab ia janjikan adanya besok buatmu
Panggilah satu nama, Nak
Dan ucapkan keberuntungan
Seperti yang diajarkan nenenk moyang
Apa itu bangsa Cina, Arab, atau Belanda
Sama saja
Kerna yang namanya kebajikan, Nak
Tembus dari segala kebangsaan
Demikian engkau harus robohkan tembok, Nak
Yang dibangun oleh prasangka kebangsaan
Demikian engkau harus percaya, Nak
Yang melahirkan kebangsaan memang Tuhan
Tapi iblis memanfaatkan pertikaiannya
Tuhan menyuruh kita bersatu, Nak
Hidup dalam damai kasih karunia
Tapi iblis merusak kemesraan itu
Dan mengalirkan dendamnya pada kita, Nak
Nah, katakanlah engkau terkurung
Tapi liat burung berkicau dalam sangkarnya, Nak
Itulah hiburan yang dapat kukasihkan buatmu
Tiap hari adalah tembaru, Nak

SERAT JATI PRIBADI

Ini tahun aku pergi ke mana dibawa kata hati
Mumpung raga terasa kuat jiwa terasa sehat
Mencari tempat untuk menyiram budi
Di gunung, mata air kehidupan
Apa untungnya megah di kota penuh wisesa
Tapi batin melompang kehilangan pijar
Maka kutinggalkan kota yang siangnya memanjang
Oleh lampu-lampu neon ribuan watt
Dipasang berjuta mengganti matari
Dan benderangnya membuat aku terasing
Déjà vu di antara kakerlak wirok nyamuk
Siapa bias karib di keindahan semu
Membayangkan kota ini pada 2222
Jika kini aku menjadi paling skeptic
Masihkah pohon tumbuh di Lapangan Merdeka
Sedangkan di Pondok Labu tak tumbuh labu
Di Pondok Cabe tak tumbuh cabe
Di Pondok Kopi tiada kopi
Di Utan Kayu, Kebon Sirih, Sawah Besar, Rawa Bening
Hanya tumbuh tembok disepanjang pematang hot-mix
Dikuasai bangsa manusia yang kini jadi sebangsa macan

Kota telah membuatkan seperti mesin fotokopi
Mengulang-ulang hari dengan rasa yang sama
Saban keluar rumah pikiran liar
Stress dikalksoni oto-oto ban radial velg racing
Knalpot megafon yang keluarkan asap pedas
Dipekaki tape yang dilengkapi amplifier
Meraung-raung antara rock dan dangdut
Berpacu sinting, zig-zag, ugal-ugalan
Menuruti etika binatang: the survival of the fittest
Jika satu menit lepas dari traffic-jam sialan
Di arteri sana macet lagi memusingkan kepala
Yang dibutuhkan orang di kota ini
Bukan aspirin tapi obat sakit gila

Mauku sekarang mendaki segala gunung negri ini
Melihat telanjangnya sepi
Menulis puisi cantiknya edelweiss
Garidanya murai dan pilunya terukur
Sembari menyanyikan madah
Sepi adalah guru untuk merenung
Tapi orang mengerti isyarat alam
Hidup hari ini menentukan hidup hari esok
Yang tidak menabur tidak mengambil bagian memetik
Aku mau bersusah-susah di fana kini
Supaya tidak ditolak dibaka nanti.

I
Kumulai pendakian di Gunung Tampulon Anjing
Menjulang 2008 utara Sipirok, Sumut
Aku jumpa suhu yang bicara perkara buku
Dan kubuka mata kupasang telinga silakan masuk

“Paling utama,” katanya. “punya buku
Jangan bilang bangsamu berbudaya tinggi
Kalau kau tidak p[ernah tahu pentingnya buku
Yang membedakan manusia dengan hewan
Bukan sandang
Bukan pangan
Bukan papan
Tapi buku
Manusia pakai baju hewan pun pakai bulu
Manusia cari makan hewan pun cari makan
Manusia punya rumah hewan pun punya sarang
Tapi manusia punya buku hewan tak punya buku
Mengaku manusia tapi tak pernah punya buku harga dirimu hewan
Maka miliki buku dan baca
Simak kekuatan yang tersirat dalam puisi
Kalau kau bisa membaca tapi tidak membaca puisi
Kau baru bebas buta huruf tapi tidak bebas membaca.”

“Buku bagi orang yang bebas membaca
Adalah air bagi suatu tanah kebun
Jangan biarkan dirimu jadi tanah gersang
Lantaran air tidak mengalir atasmu
Membuat tumbuhan tidak hasilkan buah
Jika sawah kehabisan air
Mungkin sawah berubah jadi lading
Tapi jika hujan tak turun atas lading
Dan beruntung padi masih hidup di situ
Bagaimana jika dating wereng rusaki daunnya
Dan batang pipit habis buahnya
Lalu tikus geregoti batangnya
Kemudian mati mereka bersama
Karena kehausan disitu
Bukankah lahanmu jadi sia-sia
Makin lama makin terlantar
Menumpang semak dan putri malu?
Jika ada binatang yang besok kesitu
Hanyalah belalang yang salah terbang
Terbawa kencang putting beliung
Lalu lusa ia mati karena kehausan.”

“berpalinglah kau dari kebiasaan bangsa
Yang asyik sibuk perkara-perkara besar
Seraya lupa pada perkara yang lebih penting
Buku tidak sebesar harga cincin berlian
Tidak juga sebesar harga oto buatan Jerman
Tapi ia menjadi besar dalam harga diri dan harkat
Yang membedakan manusia dengan hewan
Kalau kau mau tidak dikecilkan
Ikatkan cincin percintaan harga diri lewat buku
Dan baca segala puisi pujian
Mazmur buat Sang Khalik
Nyanyikan hormat tembusi awan di langit
Dan benturi dasar laut di samudra
Kau pasti tidak pernah kehausan.”

II
Lalu beralih aku ke Gunung Pangrango
Menjulang 3019 barat Cipanas Jabar
Aku jumpa suhu yang bicara perkara 5W
(Wibawa, Wanita, Wisma, Wahana, dan Wang)
Dan kubuka mata kupasang telinga

“Yang kesatu bagi lelaki,” katanya, “adalah wibawa
Seorang lelaki mesti memiliki sinar dan wibawa
Yang tumbuh dari batin
Dan dipelihara oleh nurani
Agar tahu ia harga kesuamian dan keayahannya
Menyangkal diri adalah karunia pertama
Memedulikan kepentingan orang lain
Menyusul kedua yang bersendi pada jiwa
Ia harus tegas tapi jangan keras
Ia harus lunak tapi jangan lembek
Ia harus perkasa tapi jangan perkosa
Ia harus rendah tapi jangan direndahkan
Ia harus cerdik tapi jangan licik
Ia harus alim tapi jangan lalim
Ia boleh lekas tak percaya tapi jangan lekas curiga.”

“Yang kedua bagi lelaki,” katanya, “adalah wanita
Seorang lelaki mesti memiliki wanita dalam hidupnya
Agar ia sempurna menghayati kejantanannya
Wanita bagi seorang lelaki adalah ilham
Untuk mengenal keseungguhan dan ketekunan
Untuk melatih kecermatan dan kesabaran
Yang membangkitkan gairah
Yang menggairahkan jiwa-raga
Wanita memberinya arti tentang cinta
Cinta memberinya arti tentang anak
Anak memberinya arti tentang wilayah Tuhan
Tuhan memberinya arti tentang hidup kekal.”

“Yang ketiga bagi lelaki, “adalah wisma
Seorang lelaki mesti memiliki tempat tinggal
Di mana ia membangun keluarga dan cinta kasih
Jangan lihat wisma dari bangunan sosoknya
Tapi periksa wisma dari cirri-ciri sisiknya
Pada intinya sebagai tempat tinggal
Karena rumah yang kokoh pun pada saatnya akan binasa
Kayu-kayunya diparani rayap atau ngengat
Atapnya bocor atau dindingnya retak
Namun cinta kasih yang dibangun di dalamnya
Berlanjut turun-temurun dalam tutur kata bestari
Sebagai benang-benang tawarikh perdamaian
Wisma adalah tempat tinggal
Dan juga tempat meninggal
Meninggalkan orang-orang terkasih
Ayah, ibu, mertua, istri, anak, dan cucu
Kau butuh tempat tinggal selama di dunia
Untuk belajar mengetahui betapa mestinya
Kau butuh tempat tinggal selama-lamanya di surge
Ajarkan itu kepada manusia, he lelaki.”

“Yang keempat bagi lelaki,” katanya, “adalah wahana
Seorang lelaki harus punya kendaraan
Supaya ia tidak melulu diam didalam wismanya
Siapa yang tak pernah keluar dari tempat tinggal
Tak punya kesempatan melihat dirinya
Diantara orang-orang lain di luar dirinya
Maka itu, keluarlah, nikmati tamasya
Lihat kenyataan akan adamu
Dalam adanya dunia
Di situ hadir Tuhan
Wahana dapat membawa rindumu
Ke mana kau suka
Tapi pergilah tidak sendiri
Sebab wahana juga tempat kau membina keluarga
Sebab wahana juga melatihmu arti kebersamaan
Dalam wahana kau lihat orang lain
Dalam wahana kau sadar kau bukan sendiri
Di luarnya ada orang lain yang sama pentingnya
Jika kau tidak melihat kenyataan
Kau mengabaikan dirimu sendiri
Inilah perkara wahana yang mesti kau camkan
Bahwa kecelakaan lalu lintas di sekitarmu
Bukan sebab kesalahan wahana
Tapi kesalahan tidak melihat kenyataan
Adanya orang lain-lain diluar dirinya
Kalau kau punya wahana
Jangan wahana membuatmu sebagai Caligula
Mempermainkan nyawa orang atas selera biadab
Tapi seperti wahana lahir dari suatu peradaban
Tempatkan dirimu sebagai bagian yang menentukan adab.”

“Yang kelima bagi lelaki,” katanya, “adalah wang”
Seorang lelaki mesti memiliki harta
Supaya ia tidak gampang dipermainkan dendam
Seperti selalu miskin mendendami kaya
Carilah wang sebanyak-banyaknya dengan cara bertahap
Dan jangan dengan cara mendadak
Sebab dalam bertahap kau berputar bersama waktu
Dan dalam mendadak kau memperkosa jalannya waktu
Tanpa wang kau tak kenal arti memiliki
Betapapun yang kau miliki itu sementara
Dan tidak menyertai jisim di liang lahat
Jangan percaya kemiskinan dapat melahirkan ilham
Malah kemiskinan dapat membuat orang jahanam
Ilham yang tulen justru lahir dalam kecukupan
Sebab ilham yang tulen membawa kebajikan
Dan ilham yang palsu membawa keonaran
Semakin banyak wangmusemakin mudah jalanmu
Tapi jangan lupa alpa member perpuluhmu
Member derma member zakat
Membantu yang miskin
Menolong yang susah
Adalah hikmah perdana kebijaksanaan
Wang dapat mengubah perangai
Siapa punya wang punya kuasa
Kuasa dapat memaksa
Kuasa dapat membujuk
Kuasa dapat menyeleweng
Kuasa dapat sewenang-wenang
Tapi kuasa tak kuasa ajal
Jangan wang mengubahmu jadi menyembah wang
Sebab betapa gampang wang berubah jadi berhala
Jika wang memberhala, batinmu pun miskin pahala
Kalau kau tak berhasil mendapat wang sebanyak-banyaknya
Setidaknya dengan yang kecil pun kau eling
Dan bersyukur sebagai rezeki dari Tuhanmu.”

III
Lalu beralih aku ke Gunung Slamet
Menjulang 3428 timur Bumi Ayu Jateng
Aku jumpa suhu yang bicara perkara 5 SK
(Senang Kawin, Senang Kelakar, Senang Kibul, Senang Kongkalikong, Senang Korupsi)
Dan kubuka mata kupasang telinga silakan masuk.

“Soal satu,” katanya, “Jauhi sifat senang kawin
Orang yang senang kawin, berbiasa diri main dusta
Mngatasnama cinta di balik topeng birahi daging
Lelaki mencari untung dari kerugian perempuan
Tapi jangan perempuan keburu menyalahkan lelaki
Sebab jika 9 dari 10 lelaki menyeleweng
Berarti 9 dari 10 perempuan menyediakan diri diseleweng
Perempuan baik bertahan seperti selalu kuat bertahan
Bahwa kata-kata rayu biarkan jadi tawanan lagu pop
Masuk kuping satu keluarkan di hidung
Kalau ingin jadi pemenang setialah pada perkawinan

Tidak diberi kepada Adam: dua Hawa
Tidak diberi kepada Hawa: dua Adam
Tapi diberi kepada Ibrahim : berjuta keturunan.”

“Soal dua,” katanya, “Jauhi sifat senang kelakar
Orang yang senang kelakar, suka sesat dalam kata
Ketika kata-kata meluncur dalam kesenangan
Gampang kesenangan melumer dengan kebohongan
Semakin banyak kelakar semakin sering tergelincir
Dan masuk kelakar dalam lowongan mempermainkan orang
Siapa yang senang kelakar senang merugikan orang
Yang menguping kelakar di luar dinding
Melanjutkan kerugian dengan pertikaian
Maka berpikirlah kalau hendak kelakar
Supaya kau bebas dari benci orang
Nuh terpaksa mengutuk putranya Ham karena kelakar
Dibenci sebagai budak oleh saudaranya Sem dan Jafet.”

“Soal tiga,” katanya, “Jauhi sifat senang kibul
Orang yang senang kibul, disiksa bayang sendiri
Tertutup pintu di saat ia mau bersungguh-sungguh
Kau boleh bicara tidak benar untuk lucu-lucu
Asal jangan selamanya bicara tidak benar
Sekali-sekali tidak benar diterima wajar
Berkali-kali tidak benar dianggap kurang ajar
Maka hentikanlah pengulangan bicara tidak benar
Supaya orang tidak menyebutmu tukang kibul
Hafallah peribahasa ini:
Sekali lancung kerna kibul
Seumur hidup disumpah anak-cucu
Bahwa terkutuk Yahudi diatara bangsa-bangsa
Terwaris kibul dari neneknya

“Soal empat,” katanya, “jauhi sifat senang kongkalikong
Orang yang senang kongkalilkong, memutus tali munasabat
Ditinggalkan seperti kuburan tua tanah pedesaan
Semak ilalang tumbuh saling berebut menutupnya
Bukan kupu-kupu yang mampir tapi belalang yang pamit
Menangis hanya menangis sendiri
Tertawa hanay tertawa sendiri
Kau pantas berkelahi jika harus bertahan kebenaran
Kalah mengaku kalah, menang akan dihormati
Tapi jangan berbuat kongkalikong seperti Yahudi
Bahwa Iskariot berkongkalikong dengan Kayafas
Menghadap karmanya dengan konyol di hari tewas
Penyesalan di kemudian waktu tak pernah menolong.”

“Soal lima,” katanya, “jauhi sifat senang korupsi
Orang yang senang korupsi tidak kenal diri
Makin lama makin tidak peduli diri orang
Ia kira rakyat diam hanya menangis
Tak tahu dalam menangis rakyat mencatat dengan marah
Jika musim berubah dan marah jadi revolusi
Ia digebuki sebagai layaknya terhadap maling
Dan orang-orang akan berkata dengan terang
Lebih mudah memaafkan penjajah Belanda
Ketimbang korupsi yang dibuat bangsa sendiri
Maka kalau kau punya cukup kekuasaan
Jangan memanfaatkan kekuasaan untuk korupsi
Upah korupsi mati di tangan rakyat
Sudah mati masih mati lagi di akhirat.”

IV
Lalu beralih aku ke Gunung Welirang
Menjulang 3156 barat Tretes Jatim
Aku jumoa suhu yang berkata perkara R dan M
Dan kubuka mata kupasang telinga silakan masuk

“Hanya satu saja,: katanya, “yang paling penting
Mesti dipunyai orang-orang sekarang
Apalagi kalau kau kaya dan punya kekuasaan
Yaitu R untuk Rasa dan M untuk Malu
Kau boleh punya 3 W dari 5 W itu tanpa batas
Tapi kalau kau tak punya Rasa Malu, kau binatang
Orang yang masih mengenal malu mesih mengenal Tuhan
Yang tak punya malu, mengubah dirinya menjadi tuhan
Karena itu camkan baik-baik perkara RM
Dalam butir-butir perjalanan ini:
Kaya jangan pamer
Pintar jangan takabur
Berkuasa jangan selamanya.”

V
Lalu beralih aku ke Gunung Pohen
Menjulang 2069 utara Bedugul Bali
Aku jumpa suhu yang berbicara perkara Kerja dan Doa
Dan kubuka mata kupasang telinga silakan masuk

“Inilah kawruh paling tua tentang hidup,” katanya
“Hidup adalah persaingan akan hadir dan tersingkir
Kau dianggap ada atau tiada
Adalah persoalan kerja
Dalam kerja kau harus punya cita-cita
Sebab cita-cita tanpa disertai kerja, sia-sia
Ketika kau bercita-cita, kaupun bekerja
Kerja adalah karunia
Membuatmu senang
Kerja bukanlah siksaan
Jangan bersungut
Kerja keras disertai eling membawa hasil
Kerja asal disertai grutu hanyalah batil
Syukur kerna kau kerja
Siapa yang bekerja ia menghormati bakat
Siapa yang sadar bakatnya sadar penciptanya
Jangan kau mengharapkan nasi tanpa kerja
Sebab yang berhak pada nasi adalah yang mau kerja
Namun jangan kerja telah membuatmu mabuk-workaholic
Kerja keras tanpa mengingat waktu adalah mabuk
Tuhan tidak mabuk ketika Ia bekerja setiap waktu
Menciptakan langit dan bumi
Siapa yang mabuk bekerja, melupakan Tuhannya

“Maka ayo, dalam mengingat Tuhan, ingat pula saudara
Jika ada saudaramu yang belum bekerja, doakan
Doa adalah kerja sukma menemui penciptanya
Kalau kau rajin mendoakan saudara
Saudara rajin mendoakan kau
Dalamnya kau dibungkus roh kasih saying
Yang tak henti bekerja menuntun langkahmu
Roh kasih saying itu tidak menuntut jasa
Ia menuntun memedulikan semua orang sebagai saudara
Maka kasihi saudaramu yang berbeda denganmu
Jika saudaramu mandul jangan salahkan perkawinan
Doakan ia supaya dikasih umur yang cukup
Untuk bertahan seraya taat dan bertawakal
Seperti Ibrahim. AS memperoleh Ismail AS
Setelah perkawinannya berusia 100 tahun
Jika saudaramu ada yang memilih tidak menikah
Berilah tempat yang layak baginya untuk berkembang
Sebab Tuhan tidak melahirkan manusia dalam mesin cetak
Masing-masing orang dibedakan karena sikapnya
Kerna perasaannya kerna alat driyanya
Jika saudaramu ada yang menderita homoseksual
Janganlah meniru jalan keliru orang yang menistanya
Sebab seperti semua orang mungkin dijangkiti penyakit
Doakan saudaramu ini supaya sembuh dari penyakitnya
Lalu perlakukanlah ia dengan belas kasih
Kau terpanggil untuk menolongnya
Jika saudaramu ada yang menjadi pelacur
Doakan mereka yang justru sembunyi-sembunyi memakainya
Kerna orang-orang yang sangar hendak memberantasnya
Malah diam-diam memakai tubuhnya dengan tawar-menawar
Kau terpanggil untuk membela nasib pelacur
Pelacuran punya jasa bagi kejahatan
Kerna ada pelacuran tiada perkosaan
Kerna ada pelacuran orang aman bepergian
Jika saudaramu ada yang jadi pencuri
Jangan bilang semua orang bebas dari sifat mencuri
Doakan orang-orang yang jadi korban pencurian
Supaya mereka sadar yang ada di dunia ini tidak kekal
Hari ini dia punya barang yang dibelinya dengan mahal
Besok barang itu berpindah tempat dari rumahnya
Demikian juga hidupnya sendiri di kulit bumi
Ajal dating juga seperti pencuri
Siap-siaplah selalu.”

“Dan terakhir, jangan lupa doakan dirimu sendiri
Untuk memngingat adamu dalam kembara ini
Bahwa hidup adalah kembara panjang
Bukan atas maumu
Tapi kodratmu
Ada hari rugi
Ada hari duka
Jika kau lepas dari Satu
Kau masuk dalam satu lainnya
Simaklah rancang ini sebagai kasut kaki:
Kau bias berjalan dengan topeng di saat sedih
Supaya wajahmu tersamar di balik lakonnya
Kau bias menyelami samudra di saat menangis
Supaya air matamu bersatu dengan air laut
Tapi kau tak bias mengundang keceriaan
Tanpa member tempat bagi karya keselamatan.”

“Jika kau berdoa, jadilah kau sebagai miskin
Dalam miskinmu, kau lihat, aksioma
Setiap jalan panjang, lurus
Mata mencari tahu apa yang kasat
Di situ kau berditi mengenal dirimu pelan-pelan.”

VI
Lalu beralih aku ke Gunung Aurbunak
Menjulan 1150 utara Pleihari Kalsel
Aku jumpa suhu yang berbicara perkara SIM
(Syarat Istri Mulia – dalam kehidupan lelaki)
Dan kubuka mata kupasang telinga silakan masuk

“Mula-mula yang harus kau ingat,” katanya,
“Istri adalah bagian dari rohmu
Hadir di dunia dari ragamu
Dan dari raganya lahir rohmu
Ia lebih tahu tentang dirimu
Daripada cermin tempatmu berkaca
Sebab ia tidur di sebelahmu
Maka jangan berpura-pura membonginya
Sebab ia hafal air mukamu
Bahwa lelaki punya dua wajah
Satu yang dikenal umum
Satunya lagi hanya dikenal istrinya
Kau boleh menaruh istrimu di belakang
Tapi kau mesti tetap menjunjungnya ke depan
Kerna dari rahimnya
Atas kerjasama benihmu
Kau memproleh buah hati
Tempat kau mengutus benihmu kerahimnya
Istri adalah duta syurgawai yang melengkapi lelaki
Bahwa hidup insani tumbuh dari keindahan itu.”
“Setelah itu yang harus kau ingat,” katanya
“Pesankan bahwa hak istri sama dengan hak suami
Toh di akhirat tak ada surge suami surge istri
Istri harus berjuang kesamaan haknya itu
Bukan hanya di meja-meja seminar
Di mana panitia mencari nama dan memperloeh laba
Lebih besar daripada pemasaran
Tapi dalam kehidupan rumah tangga sehari-hari
Di mana masih banyak istri yang menderita
Diperlakukan sebagai tawanan penjahat perang
Nanti di saat perjuangannya berhasil
He istri, jangan kau lawan kodrat alam
Sebab kodrat alam adalah wilayah Ilahi
Bahwa sebagai istri kau adalah ibu
Dan sebagai ibu kau punya sejarah
Tentang hamil
Tentang melahirkan
Tentang menyusui
Tentang mengasuh
Itulah karunia istimewa dalam dirimu dari-Nya.”

“Dan terakhir yang harus kau ingat,” katanya
“Katakan begini pada istrimu, he lelaki
Bahwa jangan istri mengira seks semata-mata
Yang dapat menahan suami untuk tidak ngelencer
Coabalah susuri sungai Negara ke pedalaman utara
Dari teluk Banjarmasin ke hulu Muarakoman
Kau bias beli jamu pasakbumi untuk mengurus seks
Padahal bukan kerna seks tapi kerna kasih saying
Perhatian
Pengabdian
Ketulusan
Kelemahlembutan
Yang membuat suami betah dan butuh
Maka peliharalah perasaanmu itu, he istri
Jangan menaruh tempat bagi curiga di hati
Dalam semua hal kaitkan hatimu pada-Nya.”

VII
Lalu beralih aku ke Gunung Lompobattang
Menjulang 2870 tenggara Malino Sulsel
Aku jumpa suhu yang berbicara perkara pribahasa
Dan kubuka mata kupasang telinga silakan masuk

“Satu saja yang harus kau hafalkan,” katanya
“Setelah dua kekasih memutuskan kawin
Menjadi suami dan istri
Lahir bayinya
Apa lagi?
Anak bersekolah sampai tamat sarjana
Mencari kerja mendapat kerja melanjutkan hidup
Pertanyaannya tidak surut dari tabiatnya
Apa lagi?
Hidup sampai mati
Dunia tempat bersinggah
Manusia lewatkan segala cuaca
Mesti sendiri dan mungkin sebatang kara
Gelombang bukan Cuma di laut
Gempa bukan Cuma di tanah
Topan bukan juga di udara
Tapi di hati dalam sukma yang tak terisi
Kosong berisi ketiadaan
Apa lagi?
Kata – kata yang royal sepanjang sejarah
Tak perlu disesali betapapun mubazirnya nanti
Kalau seorang bayi dari cinta yang disumpahkan
Tiba-tiba berubah tua tanpa mengerti arti takwa
dia menghadap Dia
apa lagi?
Kau sediakan paying untuknya sebelum hujan
Agar ia tidak kuyup oleh penyesalan.”

VIII
Lalu beralih aku ke Gunung Klabat
Menjulang 2002 barat Bitung Sulut
Aku jumpa suhu bicara perkara hak anak
Dan kubuka mata kupasang telinga seilakan masuk

“Ini satu-satunya kawruh tentang anak,” katanya
“Anak adalah buah hati kasih saying
Lanjutkan kasih sayang itu kepadanya
Abakmu milikmu hatinya miliknya
Jika hatinya tak sejalan dengan jalan hatimu
Biarkan ia menemukan jalannya sendiri
Jangan kau paksa masuk ke dalam jalanmu
Kau boleh tunjuk jalan yang patut
Tapi jangan bilang yang patut itu yang baik
Sebab apa yang baik bagimu
Belum tentu benar buat anakmu
Anak bukan orang tua dalam ukuran umur muda
Kalau kau minta ia jadi tua seperti umurmu
Kau menganiaya dan membunuh jiwanya pelan-pelan
Kalau kau larang ia bermain sebagai anak di usianya
Kau telah merampas karunia yang diberikan Tuhan kepadanya
Jangan meniru cara orang fasik
Di waktu kesal menyerapah anaknya
Dan berteriak menyesali kelahirannya
Sebab jika kau menyerapah dan menyesali
Buah hati dari kasih sayangmu
Niscaya kasih sayang Ilahi pun berkurang atasmu
Jadikan dirimu sebagai sepatu atas anakmu
Ia memakaimu untuk memberi aman bagi kakinya
Tapi ke mana langkah kakinya pergi di tentukan hatinya.”

“Namun, beri juga akhlak bagi anakmu,” katanya
“Bahwa anak mesti dengar-dengaran orang tua
Sebab orang tua wakil roh syurgawi di dunia
Jangan sampau turun kualat dari Tuhan atasnya
Biarlah akhlak akan menjadi pelita bagi jalannya
Ia harus mendengar orangtua walau boleh membantah
Ia boleh membantah tapi harus dengan sopan santun
Jika ia membantah ia telah renungkan dengan hati
Ia nalarkan dengan akal budi
Ia pertimbangkan dengan nurani
Supaya pembantahannya bukanlah menuruti cara bedebah
Yang membuka mulut sekedar kegiatan asbun
Dan kata-kata tumpah seperti sampah
Anak-anak berkata orangtuanya salah
Sebab orang tua tidak selalu benar
Anak harus punya pengetahuan yang lebih
Melebihi pengetahuan orangtuanya
Tapi jangan pengetahuannya membuatnya sok tahu
Anak mesti menerima orangtua sebagai guru
Sebab guru bukan hanya di sekolah
Anak mesti meminta sekolah
Untuk mengembangkan diri sebagai dirinya
Dalam dirinya ia menjadi lain dengan lainnya
Anak boleh nakal dan guru boleh menghukumnya
Hukuman jangan dianggap kebencian
Betapapun kerasnya hukuman itu
Sebab seperti harimau boleh ganas
Harimau tak pernah menerkam dan memakan anaknya
Demikian kasih sayang adalah kembarannya hukuman
Dan inilah kewajiban alami manusia
Kala kecil ayah-ibu menuntun anaknya
Dan ayah ibu jadi kakek nenek
Haruslah anak ganti menuntun anaknya.”

IX
Lalu beralih aku ke Gunung Ranakah
Menjulang 2400 tenggara Ruteng Flores
Aku jumpa suhu yang berbicara perkara tanggung jawab
Dan kubuka mata kupasang telinga silakan masuk

“Hidup dimulai dari tanggung jawab,” katanya
“Menjawab arti hidup dalam nafas
Atas suara-suara yang mengimbau-imbau dalam nurani
Tanggung jawab tulen tumbuh dari nurani
Mewujud dalam ejawantah kasih
Kalau kau bilang ada kasih
Apa jawabmu jika jawabnya ada benci
Kalau kau tetap bilang ada kasih
Apa jawabmu jika tetap jawabnya ada benci?
Pelajaran pertama kasih bagimu dimulai pada kata
Kata bersatu dengan laku
Laku bersatu dengan lafal
Lafal bersatu dengan Tuhan
Tuhan bersatu dengan kasih

(!)
Inilah catatan kaki kasih yang diajarkan pitarah
Kasih tidak memikirkan untung
Kasih tidak menuntut jasa
Kasih tidak mencari nama
Kasih tidak menghitung
Kasih tidak berpihak
Kasih tidak cemburu
Kasih tidak gelojoh
Kasih tidak khianat
Kasih tidak sombong
Kasih tidak bohong
Tapi
Kasih itu tulus ikhlas
Kasih itu lemah lembut
Kasih itu rendah hati
Kasih itu penyerahan
Kasih itu tawakal
Kasih itu pemaaf
Kasih itu eling
Kasih itu jujur
Kasih itu takwa
Kasih itu iba
(!)

Siapa tak memiliki kasih
Memang memiliki pintu yang tertutup atas nur
Dan di balik pintu ia meraba-raba dalam gelap
Kadang membentur kadang kesandung
Siapa senang dalam gelap
Menyamakan dirinya bagai tikus
Tikus bersembunyi pada siang hari
Jika ia mati, ia mati kerna perangkap atau racun
Dan bangkainya dibuang ke comberan dengan benci.”

X
Lalu beralih aku ke Gunung Bifemnasa
Menjulang 1198 ke utara Kafenemanu Timor
Aku jumpa suhu yang bicara perkara gurindam 10
Dan kubuka mata kupasang telinga silakan masuk

“Ini dia nyanyian gurindam 10 yang baru,” katanya
“Nyanyikan di sanubari bukan di bibir.

Kalau mau ikut jalan Tuhan
Siap-siap memikul beban

Kalau kau bilang tidak ada iblis
Artinya kau menjadikan dirimu iblis

Gengsi bias dimanfaatkan setan
Nurani adalah mahkamahnya Tuhan

Membikin ayat suci sebagai jimat
Itu langkah pertama menuju khianat

Mengaku diri bangsa Pancasila
Tak galang kerukunan namanya gila

Lebih gila yang mengaku bertuhan
Tapi korupsi terus berjalan

Jika korupsi jadi kesukaan
Melebarlah sayap kemelaratan

Alangkah aib yang melarat rohani
Di surge nanti tak dikenal nabi

Lewat nabi kita kenal surga
Surge semayam Tuhan Yang Maha

Percaya Tuhan ada jalan keselamatan
Pecaya setan menuju jalan kebinasaan

XI
Lalu beralih aku ke Gunung Bianiya
Menjulang 3055 timur Masohi Seram
Aku jumpa suhu yang bicara perkara arti hari
Dan kubuka mata kupasang telinga silakan masuk

“Kita hidup dalam satu dunia,” katanya
“yang telah diatur hari-harinya
Mengulang bagai roda atas segala abad
Besok tak pernah jelang tanpa hari ini
Hari ini tak kunjung tanpa kemarin
Hari ini matahari terbenam
Besok gilir matahari terbit
Yang kemarin sudah berlalu
Hari ini lapar
Besok dating kenyang
Yang kemarin lupakan saja
Hari ini badan tak sehat
Besok kita segar bugar
Yang kemarin jangan rasakan
Hari ini kita bermusuhan
Besok kita galang persahabatan
Yang kemarin tak usah diungkitkan
Hari ini kita menampar
Besok kita mengelus
Yang kemarin takkan terulang
Hari ini terpaksa melukai hati
Besok wajib meminta maaf
Yang kemarin jangan ingat
Hari ini kita tak kuasa menahan tangis
Besok kita tertawa terbahak bersama
Yang kemarin biarkan berlalu
Hari ini kita berkumpul
Besok kita berpisah
Yang kemarin selesai
Hari ini kita hidup
Besok kita mati
Tapi mati bagi orang-orang percaya
Diganti hidup kekal diseberang ajal
Yang kemarin adalah peringatan-Nya untuk eling
Maka atur hari-harimu bukan untuk hari ini dan kemarin
Sebab kau tak tahu apa arti besok.”

XIII
Dan akhirnya beralih aku ke gunungku sendiri
Gunungku adalah kredo Hayati Pancasila

“Hanya satu Allah yang akbar
Yang mencipta alam semesta
Dan manusia mendunia
– Aku percaya

Aku hidup dalam banyak kebenaran
– Aku percaya
Hindu, dharma yang dibenarkan Sang Hyang Widhi
– Aku percaya
Budha, agama yang dibenarkan Sidharta Gautama
– Aku percaya
Nasrani, Jalan keselamatan yang dibawa Isa Al Masih
– Aku percaya
Islam, Akidah yang dibenarkan Allah Ta’alla
– Aku percaya
Pancasila, asas yang mempersatu rasa percaya
– Aku percaya

Aku kembang dalam leluri Pancasila
Kepercayaan adalah perdamaian
Tidak harus terjadi perpecahan

XVI
Maka kuhentikan pendakian pada tahun besok
Kerna jalan di depanku sudah rata oleh makrifat
Tinggal menunggu datang hari menyatunya Dia dan aku

“Duh Gusti mugi paringo ing margi Kaleresan
Kados margineng manungso kang mangkeh kanikmatan
sanes margine manungso kang patuho ngelaknati.”

Harkat

Cinta dapat panas
Seperti matahari
Kasih mesti lembut
Seperti bulan
Dan bintang-bintang adalah harkat

Kau boleh jelajahi hutan paling belukar
Di Kalimantan atau Irian
Mencari bintang yang mendamaikan pikiran
Tapi tidak seperti seorang buta tanpa tongkat
Yang menubruk dinding lalu terperosok
Sebab hutan paling belukar adalah hatimu sendiri

Cinta adalah putih
Kasih mesti biru
Dan bintang-bintang sebaiknya kuning
Supaya kau mengerti nisbah harkat dengan harta

Keputusan yang kau gali dari kenekatan
Enggan member hasil tuai lebih dari sekali
Kau menjadi bijak setelah menubruk dan terperosok
Lihat, pipit dan gelatik tidak datang di sawah
Yang keburu didului wereng
Menanam cinta
Menuai kasih
Pelajaran pertama harkat
Dari pengalaman kau gapai

Gagasan Profetik Kuntowijoyo

Gagasan profetik Kuntowijoyo berpijak pada tiga elemen utama: humanisasi (ta’muru bil ma’ruf), liberasi (tanhawna ‘anil munkar), dan transendensi (tu’minu billah). Konsep ini berakar dari Al-Qur’an Surah Ali Imran: 110: “Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia, menyuruh kepada yang ma’ruf, dan mencegah dari yang mungkar, dan beriman kepada Allah”. Konsepsi Kuntowijoyo diderivasikan dari tiga elemen yang Allah sebut sebagai prasyarat umat terbaik tersebut.

Menurut Kuntowijoyo, Amar Ma’ruf (menyuruh kepada yang baik) tidak hanya berada dalam konteks individual, melakukan kebaikan pada sesama. Ia harus ditransformasikan dalam konteks sosial budaya. Kuntowijoyo menafsirkannya sebagai emansipasi manusia kepada fitrah-nya: pada posisinya sebagai makhluk yang mulia. Inilah yang ia sebut sebagai humanisasi teosentris: kembalinya manusia pada fitrahnya sebagai makhluk Allah yang diberi tanggung jawab untuk mengelola bumi. Humanisasi berarti menebar kebaikan dengan titik pijak keadilan. Misi humanisasi adalah menempatkan manusia sebagai khalifatullah fil ‘ardli, pemimpin di muka bumi, yang mesti menjalankan misi keadilan. Upaya-upaya rekonstruksi ini perlu dijalankan dalam konteks sosial-budaya, termanifestasi dalam ruang-ruang publik yang konkret, dan menjadikan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin.

Sementara itu, Nahyi Munkar (mencegah kemunkaran) juga tidak bisa hanya dimaknai dalam kerangka individual. Secara sosial, nahyi munkar berarti pembebasan manusia atas penindasan dari manusia lainnya, pembebasan dari segala bentuk kegelapan (zhulumat), kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, dsb. Juga pembebasan manusia atas kezaliman yang dilakukan oleh manusia lainnya. Artinya, konsep nahyi munkar memiliki implikasi gerakan dan struktural. Spirit pembebasan ini banyak ditemui dari puisi-puisi Kuntowijoyo, sebagaimana penulis kutip di atas: “Karena kakiku masih di bumi|Hingga kejahatan terakhir dimusnahkan|Hingga para du’afa dan Mustada’afin diangkat Tuhan dari penderitaan”.

Dalam pelbagai tulisannya, Kuntowijoyo juga banyak memberikan kritik-kritik sosial atas realitas yang ada. Ia banyak melihat kondisi sejarah sosial Indonesia yang diwarnai oleh praktik-praktik eksploitasi kapital. Potret penindasan ini muncul dalam bentuk oligarki antara pemodal besar dengan negara yang kemudian menyebabkan akses rakyat kecil atas ekonomi menjadi terhambat. Ia menyebutnya sebagai dhuafa dan mustadh’afin. Pembebasan juga perlu dilakukan pada praktik kezaliman ekonomi seperti ini. Spirit Marx atas pembebasan manusia dari keterasingan juga senada dengan konsepsi beliau tentang pembebasan.

Adapun tu’minu billah berarti pengembalian segala sesuatu pada hakikatnya yang paling mendasar: tauhid. Pada titik inilah gagasan ilmu sosial profetik menjadi penting. Gagasan tauhid tidak hanya berada pada level teologis, tetapi juga harus diterjemahkan melalui langkah-langkah sosial konkret. Konsep transendensi ini dapat dibaca melalui konsep tauhid sosial yang digagas Amien Rais dan Teologi Al-Ma’un yang dicanangkan KH. Ahmad Dahlan.

Wacana tauhid sosial mengejawantahkan tauhid dalam semua dimensi kehidupan. Menurut Amien Rais, Tauhid Sosial merupakan dimensi sosial dari konsep tauhid (pengesaan Allah secara mutlak), agar konsepsi tauhid yang telah terintegrasi di pola pikir umat Islam dapat dipraktikkan pada tataran masyarakat.Implikasi yang diharapkan dari Tauhid Sosial ini adalah munculnya manusia-tauhid (meminjam istilah Amien Rais, lihat Muzakki, 2004) yang mampu berpikir secara arif dengan landasan tauhid dan syariah. Tauhid harus ditransformasikan dalam bentuk akhlak dan etika sosial. Dalam konteks sosial-politik, etika tersebut tidak hanya diwujudkan dalam aktivitas berinteraksi dengan individu, tetapi juga dalam ruang-ruang publik. (Amien Rais, 1997).

Sementara itu, KH. Ahmad Dahlan memperkenalkan cara berpikir yang sederhana: mengamalkan perintah Allah dalam Al-Qur’an secara nyata. Dalam konteks ini, Kyai Dahlan mengajarkan murid-muridnya Surah Al-Ma’un secara berulang-ulang. Sudah barang tentu, murid-muridnya bertanya. . Kyai Dahlan kemudian mengajak murid-muridnya ke pasar dan membeli kebutuhan hidup sehari-hari mereka, lantas pergi ke tempat orang-orang miskin dan memberikan barang-barang tersebut kepada mereka. Tak cukup sampai di situ, Kyai Dahlan juga mengajak murid-muridnya untuk memelihara anak-anak yatim yang miskin, sebagaimana dipesankan dalam surah Al-Ma’un tersebut.

Ada satu semangat yang bisa ditangkap dari kisah sederhana tersebut. Kyai Dahlan mengajak kita untuk mengejawantahkan ajaran tauhid dan ayat-ayat Al-Qur’an dalam bentuknya yang sangat praksis dan implementatif, yaitu pengamalan nyata. Bentuk inilah yang disebut oleh Kuntowijoyo sebagai “Gerakan Sosial Muhammadiyah”.(Kuntowijoyo, 2008).

Menafsirkan Kuntowijoyo: Konteks Indonesia Kontemporer

Sebetulnya, gagasan Kuntowijoyo memiliki banyak relevansi dengan konteks Indonesia kontemporer. Saya akan melihat satu fakta saja dalam masalah Indonesia, yaitu adanya arus globalisasi yang tidak hanya memberi dampak positif bagi masyarakat Indonesia, tetapi juga memberi dampak-dampak sosial negatif di semua aspek.

Kita sedang berada di era globalisasi. The world is flat, kata Thomas Friedman, seorang kolumnis di New York Times. Arus globalisasi yang dicirikan oleh “interconnectedness” –kata Martin Wolf— atau “distanciation” –menurut Anthony Giddens— menjadi tak lagi terhindarkan di seluruh pelosok dunia.

Serbuan-serbuan kultural tak ayal masuk ke generasi muda . Kita menghadapi problem yang cukup serius: mulai memudarnya sinyal religiusitas dalam masyarakat dunia, terutama di kalangan generasi muda. Berbicara mengenai globalisasi, maka akan berbicara pula mengenai fenomena sosial-budaya yang melintasi batas negara, mengakibatkan perubahan-perubahan sosial di berbagai aspek. James Rosenau, pakar Hubungan Internasional di George Washington University, telah memberikan dua kata kunci yang menentukan arah geraknya yang begitu luas ke berbagai penjuru dunia: integrasi dan fragmentasi.

Hal tersebut, jika kita tafsirkan secara lebih luas, dapat berarti bahwa globalisasi memiliki karakteristik “menyatukan aspek-aspek sosial ke dalam sebuah standard baru” dan memfragmentasikan standard tersebut ke berbagai penjuru dunia”. Implikasinya, terjadi perubahan kultural dan sosial. Globalisasi memiliki dua sisi. Di satu sisi, globalisasi membuat kemajuan teknologi dapat dirasakan oleh semua orang. Namun, di sisi lain globalisasi juga punya dampak sosial yang tak terelakkan bagi kehidupan.

Dalam era globalisasi, kondisi yang fragmentaris tersebut menimbulkan dampak negatif berupa perluasan dimensi dan lokus konflik. Maraknya gerakan transnasional serta pemahaman-pemahaman keagamaan yang bertabrakan dengan garis pemahaman yang sudah pakem –dalam bentuk radikalisme agama dan liberalisme pemikiran keamaan— juga membuat adanya konflik yang sama di tempat yang berbeda.

Problem lain adalah munculnya hegemoni dalam politik internasional yang mengatur order yang ada. Proses globalisasi pada perkembangannya bukan sebuah proses yang bebas nilai. Ia adalah sebuah jelmaan kepentingan dari kekuatan politik dan ekonomi yang mendominasi tata dunia saat ini. Proses globalisasi menawarkan nilai baru yang secara kultural berpotensi menggerus lokalitas dan tatanan baku yang ada. Jika tidak dihadapi, proses globalisasi akan berbenturan dengan upaya mempertahankan tradisi dan paham keagamaan. Globalisasi akan membentur nilai tradisi dan lokalitas yang ada, dan yang paling rawan terkena ekses ini adalah generasi muda. Pendeknya, kita akan melihat tidak hanya transformasi sosial progresif dalam bentuk kemajuan teknologi, tetapi juga keruntuhan budaya.

Gagasan Kuntowijoyo yang cukup relevan dalam melihat masalah ini adalah gagasan mengenai strategi budaya. Semua proses sosial, baik itu yang terjadi secara vertikal (dari negara ke masyarakat) maupun horisontal (antarmasyarakat) mesti memperhatikan nilai budaya. Kebijakan penanaman modal asing, misalnya, tidak hanya berdampak pada kondisi ekonomi-politik, melainkan juga punya ekses sosial-budaya. Kita dapat melihat banyaknya pertambangan yang mengalami konflik dengan petani dan masyarakat lokal karena menabrak rambu-rambu tradisi. Atau, persoalan pemiskinan struktural yang terjadi akibat negara memfasilitasi praktik-praktik akumulasi kapital. Tentu saja, ini memerlukan strategi kebudayaan dari semua pihak.

Strategi kebudayaan harus dimulai dari penghargaan atas nilai-nilai tradisi yang ada. Kebudayaan modern harus pula mempertimbangkan tradisi yang ada. Kuntowijoyo menyebut beberapa warisan tradisi di Sumatera, seperti Aceh, yang melihat al-malik al-adl sebagai sebuah konsep kepemimpinan yang adil. Pemimpin tidak harus demokratis, tetapi ia harus mampu mengayomi masyarakatnya dan bersikap adil tanpa pandang bulu. Atau, simbol-simbol kebudayaan di Jawa pada konsep “ngelmu” sebenarnya memiliki keterkaitan dengan cara hidup yang menyeluruh, menjadi panduan sederhana untuk menuntut ilmu apapun. Konsep seperti ini jika dihilangkan tidak hanya akan menggerus dasar kebudayaan, tetapi juga akan berpengaruh pada degradasi moral.

Ilmu Sosial Profetik sebagai Alat Transformasi Sosial

Kuntowijoyo memformulasikan konsep transformasi sosialnya ke dalam empat tahapan berikut: Dari teologi, bertransformasi ke dalam filsafat sosial, perumusan teori sosial, lalu perancangan agenda perubahan sosial. Dengan logika berpikir tersebut, Prof. Kunto ingin menyatakan pada semua aktivis gerakan, bahwa tidak mungkin berpikir melompat dari basis ideologi yang paling mendasar lantas langsung berpikir untuk menghadirkan perubahan sosial instan.

Perlu ada ketepatan pembacaan makro dan filosofis atas realitas sosial. Setelah pembacaan makro, perlu ada upaya untuk merumuskan teori dan aplikasi konkret dari pembacaan makro tersebut. Bagaimana caranya? tentu saja melalui riset-riset empiris yang dilakukan secara langsung. Sadar atau tidak, strategi perubahan sosial yang dirancang oleh banyak gerakan kontemporer cenderung melupakan perumusan teori sosial. Kita kadang terlalu asyik dalam pembahasan mengenai dikotomisasi mengenai Islam dan Barat dalam tataran normatif seperti referensi atau kerangka berpikir, tetapi melupakan rancangan metodologis.

Memang, kita sangat perlu membedakan cara berpikir “ala Barat” dengan “ala Islam” dalam tataran epistemologis. Akan tetapi, apakah kita harus menghabiskan waktu hanya untuk berdebat dalam soal-soal filsafat ilmu an sich? Mengapa kita tidak segera beranjak ke tahapan selanjutnya, yaitu perumusan teori sosial, jika cara pandang mengenai kebenaran kita sudah bersifat final?

Pada titik inilah gagasan ilmu sosial profetik (ISP) relevan diangkat. Menurut Azmy Basyarahil, ISP tidak hanya berhenti pada usaha menjelaskan realitas sosial. Tetapi, bergerak lebih jauh dengan mentransformasikannya menuju cita-cita masyarakat. ISP merumuskan tiga nilai penting sebagai pijakan, yaitu humanisasi, liberasi dan transendensi.

Referensi

Al-Qur’an Al-Karim.

Ahmad Rizky Mardhatillah Umar et. al. Globalisasi Ekonomi dalam Perspektif Indonesia: Relasi antara Negara, Masyarakat, dan Perusahaan Multinasional di Lokasi Pertambangan Minyak, Bojonegoro, Jawa Timur. Yogyakarta: FISIPOL UGM, 2010, tidak dipublikasikan.

Akh. Muzakki. Mengupas Pemikiran Agama dan Politik Amien Rais Sang Pahlawan Reformasi. Jakarta: Lentera, 2004.

Amien Rais. Demi Kepentingan Bangsa. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.

Anang Rizka Masyhadi. Hadits-Hadits Politik: Aktualisasi Sunnah dalam Kehidupan Sosial dan Politik. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2005.

Azmy Basyarahil: “Res Extensa: Kematian Materialisme Ilmiah”. Simpul Bulaksumur, Edisi April 2011.

Kuntowijoyo. “Gerakan Sosial Muhammadiyah” dalam Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi. Bandung: Mizan, 2008.

__________. “Strategi Budaya Islam: Mempertimbangkan Tradisi” dalam Paradigma Islam: Interpretasi untuk Aksi. Bandung:Mizan, 2008.

__________. Daun Makrifat, Makrifat Daun. Kumpulan Sajak. Jakarta: Gema Insani Ppress, 1995.

Mustafa Kamal dan Ahmad Adaby Darban. Muhammadiyah sebagai Gerakan Islam. Yogyakarta: Suara Muhammadiyah, 2005.

Shofwan Al-Banna Choiruzzad. “Boundaries as Bridges: Reflection on Transnational Business Actor”. Paper dipresentasikan pada 39th St. Gallen Symposium, University of St. Gallen, Switzerland, 7-9 May 2009.

(Rizky)

Paradigma Demokrasi dan Kebijakan Publik (Taulah …)

Perdebatan konseptual mengenai demokrasi mengantarkan kita pada sebuah telaahan kritis mengenai kebijakan publik. Apakah kebijakan publik harus mengikuti pergeseran paradigma dalam demokrasi? Bagaimana dalam konteks Indonesia? Tulisan ini akan mengelaborasi hubungan antara demokrasi dan kebijakan publik.

Demokrasi Deliberatif

model van horn
Selama ini, demokrasi dipahami sebagai “mekanisme elit” untuk mengatur publik. atau dalam bahasa Huntington (1993), pengaturan kelembagaan untuk mendatangkan sebuah keputusan politik yang diperlukan seseorang untuk mendapatkan suara rakyat dalam usaha yang kompetitif.

Oleh karena demokrasi adalah sebuah metode kelembagaan, maka proses-proses demokrasi diukur dalam parameter “bagaimana suara didapatkan”. Artinya, demokrasi adalah proses bagaimana untuk mendapatkan legitimasi publik, dalam hal ini, suara rakyat dalam Pemilu. Maka, demokrasi perlu dibatasi hanya pada soal-soal politik. Di luar itu, logika teknokratik yang dipakai.

Dalam logika demokrasi yang digunakan Indonesia, yang disebut dengan “demokrasi” terbatas pada persoalan pemilu, partai politik, parlemen, dan sekitarnya. Diskursus mengenai demokrasi di ruang-ruang informal belum menjadi domain dari “demokrasi”.

Praktis, proses demokrasi yang berjalan di Indonesia cenderung sangat elitis dan bertumpu pada aktor-aktor utama di eksekutif serta legislatif. Paradigma yang digunakan dalam kebijakan publik pun menjadi sangat state-centrist.

Pertanyaannya, benarkah model demokrasi yang seperti itu adalah satu-satunya model yang benar? Ternyata tidak juga. Jurgen Habermas mengemukakan konsep “demokrasi deliberatif” sebagai salah satu alternatif. Mengutip F. Budi Hardiman, demokrasi deliberatif tidak dibasiskan pada gagasan-gagasan teknokratis seperti diinginkan Schumpeter dan Huntington.

Demokrasi, sebagai wujud sebenar-benarnya kedaulatan rakyat, mesti dibasiskan pada apa yang ia sebut sebagai “public sphere”: ruang publik. Ruang publik dibangun di atas tindakan-tindakan komunikatif, interaksi antar-warga, atau yang ia sebut sebagai “diskursus.

Artinya, demokrasi sebenarnya bukan sebuah proses formal yang hanya membataskan diri pada soal-soal politik. Demokrasi dipandang sebagai “deliberasi”, interaksi antar-warga di masyarakat, yang di Indonesia dikenal sebagai “musyawarah”. Ia terejawantahkan dalam model-model aktivitas publik sehari-hari.

Berdemokrasi bukan sekadar mengambil keputusan di parlemen, tetapi juga dalam proses-proses penyusunan anggaran, kritik terhadap pemerintah, menyalurkan aspirasi, bahkan dalam proses belajar-mengajar. F. Budi Hardiman membahasakannya sebagai “Demokrasi Deliberatif”.

Dengan demikian, paradigma demokrasi kini bergeser. Secara konseptual, demokrasi memerlukan partisipasi masyarakat untuk menyelesaikan persoalan-persoalan pembangunan secara aktif. Karena itu, logika pengambilan kebijakan publik juga harus digeser: dari logika teknokratik menjadi logika partisipatoris.

Kebijakan Publik

Pergeseran logika dalam demokrasi menjadi berbasis pada partisipasi publik dan deliberasi melahirkan sebuah pertanyaan: bagaimana dengan kebijakan publik?

Secara teoretis, skema pemutusan kebijakan publik dimulai dari perencanaan, hingga evaluasi. Mengutip Budi Winarno, kebijakan publik dilakukan dalam empat tahapan: perencanaan (planning), pengesahan, implementasi, dan evaluasi kebijakan. Proses-proses kebijakan publik, dalam paradigma tersebut, sangat bertumpu pada peran sentral negara beserta perangkat birokrasinya.

Sudah tentu, birokrasi memiliki korelasi dengan proses demokratisasi. Agar birokrasi dapat bekerja efektif dan legitimate, pucuk pimpinan birokrasi (eksekutif) mesti dipilih secara demokratis. Sesudah itu, birokrasi secara teknokratik melakukan aktivitasnya. Model birokrasi ini sangat khas bertipe Weberian, yaitu birokrasi yang hierarkis, top-down, dan profesional.

Akan tetapi, ada satu kritik yang dapat diajukan pada model kebijakan publik seperti itu. Di mana posisi partisipasi publik? Dalam paradigma lama, partisipasi publik terbatas pada level politik, alias memilih pimpinan, atau pada evaluasi, yaitu respons terhadap output dan outcome.

Apa yang terjadi di antara kedua level tersebut di antara level itu, alias implementasi dan perencanaan, bertumpu pada elite. Dengan demikian, logika ini berarti demokrasi hanya pada level politik, sementara di level implementasi, tidak ada demokrasi.

Persoalan inilah yang kemudian mengantarkan kita pada rekonstruksi paradigma kebijakan publik. Partisipasi publik, sebagai variabel utama dalam demokrasi, harus masuk secara menyeluruh. Pada titik inilah, proses penyusunan kebijakan publik harus bernilai partisipatif, alias memberdayakan masyarakat di semua proses kebijakan publik.

Konteks Indonesia

Lantas, bagaimana partisipasi masyarakat dalam kebijakan publik diterapkan, terutama dalam konteks Indonesia?

Sebelum masuk ke sana, kita perlu menganalisis struktur ketatanegaraan Indonesia di era desentralisasi. UU No. 32 tahun 2004 telah membagi secara jelas tiga struktur pemerintahan Indonesia yang memiliki kewenangan di masing-masing levelnya: pemerintahan pusat, pemerintahan daerah, dan pemerintahan desa.

Pemerintah pusat pada dasarnya memiliki kewenangan terbatas untuk mengurusi persoalan masyarakat. Di level daerah, lokus kekuasaan dipegang penuh oleh pemerintah daerah (kabupaten/kota) untuk mengatur semua hal yang ada pada domain wilayahnya. Lokus desentralisasi ada pada daerah.

Untuk menopang skema desentralisasi tersebut, muncullah istilah pemerintahan desa sebagai perwujudan desentralisasi pada lokus masyarakat terkecil. UU 32/2004 mengatur pemerintahan desa secara lebih detil, antara lain kewenangan untuk mengatur desa, proses demokrasi pada pemilihan kepala desa, dsb. Sehingga, desa menjadi sarana penyaluran aspirasi warga di level terkecil.

Berdasarkan amanat UU No. UU No. 25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional, proses perencanaan pembangunan kini menggunakan logika partisipatif. Artinya, logika perencanaan pembangunan kini bersifat bottom-up. Artinya, masyarakat dilibatkan dalam proses perencanaan pembangunan dari level Dusun dan RT/RW, Desa, hingga nasional.

Dengan logika ini, masyarakat adalah subjek dari pembangunan, bukan lagi objek. Implementasi perencanaan pembangunan yang bersifat partisipatif terwujud dalam proses musyawarah perencanaan pembangunan (musrenbang).

Dalam Musrenbang, masyarakat dari level terkecil menyusun prioritas kebutuhan pembangunan yang ada pada masyarakat. Proses ini melibatkan seluruh pemangku kepentingan (stakeholder) antara pemerintah dan masyarakat, dan dilakukan secara negosiasif.Artinya, masyarakat didorong partisipasinya seluas mungkin untuk menentukan prioritas kebijakan yang akan diambil.

Proses musyawarah ini kemudian dilanjutkan hingga ke level yang lebih tinggi, dan menjadi referensi utama dalam kebijakan publik. Implementasi dan evaluasi juga dilaksanakan secara bottom-up dengan menggunakan peran masyarakat secara mandiri. Birokrasi tetap berjalan, tetapi dengan kontrol dan partisipasi masyarakat.

Maka, dengan model seperti ini, sebetulnya sudah ada upaya untuk menggeser paradigma kebijakan publik di Indonesia. Basisnya bukan lagi negara, tapi masyarakat secara mandiri. Logika bureaucratic-politics, sebagaimana disampaikan oleh Karl D. Jackson ketika melihat struktur birokrasi Orde Baru, menjadi dapat digeser menjadi logika partisipasi publik.

Hanya saja, implementasi dari konsep ini tak seindah yang dibayangkan. Masih banyak terjadi ghoshob-ghoshob dalam proses pembangunan, atau motif memperkaya diri sendiri oleh elite-elite desa karena partisipasi masyarakat yang minim. Peran aktor informal atau “raja kecil” yang meng-ghoshob proses pembangunan untuk motif tertentu kadang tak terhindarkan. Yang harus jadi catatan, jangan sampai terjadi sharing korupsi ke level yang lebih kecil hanya karena adanya dominasi elite tertentu.

Tetapi, justru disinilah tantangan. Usaha membumikan demokrasi, dengan memperkuat kapasitas masyarakat agar berdaya dalam memenuhi kebutuhannya sendiri menjadi penting.

Indonesia mungkin belum seberhasil Porto Allegre dalam menguatkan partisipasi publik dalam kebijakan publik. Tetapi, setidaknya logika kebijakan publik yang sangat state-centrist atau mengandalkan birokrasi dapat sedikit demi sedikit digeser. Masyarakat Indonesia sejak dulu mengenal budaya musyawarah, terutama di beberapa daerah. Ini bisa menjadi modal awal.

Tentu saja, perlu kesabaran. Terpenting, potensi korupsi politik karena kekuasaan yang tak terbatas dapat direduksi dengan model perumusan kebijakan publik seperti ini.

Konklusi

Maka, logika demokrasi yang partisipatoris-deliberatif, atau mengandalkan partisipasi masyarakat, sebetulnya masih dapat diterima di Indonesia. Sudah saatnya kita menggeser paradigma demokrasi yang elitis. Sebab, selain berpotensi melahirkan oligarki yang dekat dengan korupsi, logika tersebut juga meniadakan partisipasi masyarakat awam.

and the end of the day, seorang pengayuh becak di pasar-pun menjawab, “embuhlah mas…. yang penting hari ini aku dan keluargaku bisa makan, itu saja yang penting.”

Daftar Pustaka

Budi Winarno. Teori & Proses Kebijakan Publik (Yogyakarta: Media Pressindo, 2002).

F. Budi Hardiman. Demokrasi Deliberatif: Menimbang Negara Hukum dan Ruang Publik dalam Teori Diskursus Jurgen Habermas (Yogyakarta: Kanisius, 2009).

Karl D. Jackson. “Bureaucratic Polity: A Theoritical Framework for The Analysis of Power and Communications in Indonesia” dalam Lucian W. Pye (eds). Political Power and Communications in Indonesia (Berkley: University of California Press, 1978).

Samuel P. Huntington. The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century (Norman: University of Oklakhoma Press, 1993).

(Rizky)

MELIHAT LEBIH JAUH

Ada dua kisah nyata inspiratif yang akan saya adaptasi. Pertama tentang seorang tukang pipa (plumber). Alkisah, bos perusahaan otomotif terbesar di Jerman sedang pusing karena pipa keran airnya bocor, ia takut anaknya yang masih kecil terjatuh. Setelah bertanya ke sana-kemari, ditemukan seorang tukang terbaik. Melalui pembicaraan telepon, sang tukang menjanjikan dua hari lagi untuk memperbaiki pipa keran sang bos. Esoknya, sang tukang justru menelepon sang bos dan mengucapkan terima kasih. Sang bos sedikit bingung. Sang tukang menjelaskan, ia berterima kasih sebab sang bos telah mau memakai jasanya dan bersedia menunggunya sehari lagi. Pada hari yang ditentukan, sang tukang bekerja dan bereslah tugasnya, lalu menerima upah. Dua minggu kemudian, sang tukang kembali menelepon sang bos dan menanyakan apakah keran pipa airnya beres. Namun, ia juga kembali mengucapkan terima kasih atas kesediaan sang bos memakai jasanya. Sebagai catatan, sang tukang tidak tahu bahwa kliennya itu adalah bos perusahaan otomotif terbesar di Jerman. Cerita belum tamat. Sang bos demikian terkesan dengan sang tukang dan akhirnya merekrutnya. Tukang itu bernama Christopher L Jr dan kini menjabat GM Customer Satisfaction & Public Relation Mercedes Benz. Dalam sebuah wawancara, Christopher menjawab, ia melakukan semua itu bukan sekadar tuntutan after sales service atas jasanya sebagai plumber. Jauh lebih penting, ia selalu yakin tugas utamanya bukanlah memperbaiki pipa bocor, tetapi keselamatan dan kenyamanan orang yang memakai jasanya. Christopher melihat lebih jauh dari tugasnya.

Kisah lain. Ada juga kisah dari teman saya, James Gwee, tentang Mr Lim yang sudah tua dan bekerja ”hanya” sebagai door checker (memeriksa engsel pintu kamar hotel) di sebuah hotel berbintang lima di Singapura. Puluhan tahun ia jalankan pekerjaan membosankan itu dengan sungguh- sungguh, tekun, dan sebaik-baiknya. Ketika ditanya apakah ia tak bosan dengan pekerjaan menjemukan itu, Mr Lim mengatakan, yang bertanya adalah orang yang tidak mengerti tugasnya. Bagi Mr Lim, tugas utamanya bukanlah memeriksa engsel pintu, tetapi memastikan keselamatan dan menjaga nyawa para tamu. Dijelaskan, mayoritas tamu hotelnya adalah manajer senior dan top manajemen. Jika terjadi kebakaran dan ada engsel pintu yang macet, nyawa seorang manajer senior taruhannya. Jika ia meninggal, sebagai decision maker, perusahaannya akan menderita. Jika perusahaannya menderita dan misalnya bangkrut, sekian ribu karyawannya akan menderita. Belum lagi keluarganya, termasuk anak istri manajer itu.

Demikian jauh pandangan Mr Lim, dan ia bukan sekadar door checker. Beberapa pelajaran Christopher L Jr dan Mr Lim relatif manusia sejenis. Keduanya bukan kelas manusia sedang atau biasa (good people). Mereka jenis ”manusia besar atau manusia berlebih” (great people) meski jabatan atau pekerjaan formal di suatu saat demikian ”rendah dan biasa saja”. Sikap mental mereka jauh lebih tinggi dari jabatan dan pekerjaan formalnya.

Dua kisah itu memberikan beberapa pelajaran berharga. Pertama, untuk menjadi manusia besar tidak semata-mata ditentukan oleh kemampuan teknis seseorang mengerjakan tugasnya. Kemampuan dan kompetensi teknis (hard competence) boleh sama atau biasa saja, tetapi sikap mental atau soft competence yang lebih akan menentukan seseorang menjadi manusia besar atau tidak. Kedua, untuk bisa mempunyai soft competence dimaksud, kita perlu berontak dan bangun dari tidur panjang selama ini, keluar dari zona nyaman good. Sebagai manusia minimalis, pekerja atau pemimpin apa adanya (yang penting job description dijalankan), target kerja atau key performance indicator (KPI) tercapai, beres! Itulah tipikal manusia biasa saja. Upaya ini memerlukan pengorbanan diri sebab hanya dengan menjadi good people seperti selama ini saja, toh tak ada yang mengusik kita, tetap bisa bekerja dengan nyaman, dan seterusnya. Maka, pemberontakan untuk bebas dari kondisi good people itu harus dari diri sendiri dulu. Ingat petuah Jim Collins, good is the enemy of great. Ketiga, langkah lebih konkret selanjutnya adalah sikap mental untuk ”melihat lebih”! Christopher L Jr plumber yang ingin memastikan kliennya nyaman dan selamat. Mr Lim door checker yang ingin menjamin tamu hotelnya terjaga nyawanya dari bahaya kebakaran. Melihat lebih jauh, beyond the job! Keempat, setelah mampu melihat lebih, barulah kita mampu ”memberi lebih” (giving more). Hanya dengan melihat lebih dan memberi lebih, kita mampu menjadi manusia besar yang tidak hanya bekerja sebatas KPI. Kita akan mampu bekerja dengan memberikan key values indicator (KVI), nilai-nilai lebih, mulia, unggul, berguna bagi setiap pengguna atau penikmat hasil kerja kita. Itulah Christopher L Jr dan Mr Lim. Rindu pemimpin besar Betapa bangsa ini rindu seorang pemimpin hasil pemilu yang layak disebut pemimpin besar, great leader. Mereka yang kini sedang giat berkompetisi dan perang iklan dengan saling sorot KPI masing-masing. Perhatikan dengan saksama, maka segenap janji kampanye, termasuk realisasinya, konteksnya masih sebatas pemenuhan KPI. Ini berlaku baik bagi yang masih berkuasa maupun mantan dan juga calon yang baru. Semua bicara tentang KPI kepemimpinan, belum menyentuh KVI kepemimpinan. Para pemimpin dan bahkan kita semua demikian bangga dan terpesona sendiri saat mampu memenuhi ”KPI kehidupan” kita masing-masing, yang biasanya memang bersifat kuantitatif, materiil, dan mudah diukur. Padahal, untuk menjadi great people, great leader, great father, great manager, dan seterusnya, lebih diperlukan kemampuan mempersembahkan ”KVI kehidupan” kita, yang biasanya justru tidak mudah diukur. Bangsa ini sangat memerlukan Christoper L Jr dan Mr Lim sebanyak mungkin dan sesegera mungkin. Sebagai catatan akhir, seorang office boy yang mampu mempersembahkan KVI nilainya tak kalah dengan seorang CEO yang hanya memberikan KPI-nya. Jika kita ”mau” melihat lebih jauh, kita akan ”mampu” melangkah lebih jauh.<

function utmx_section(){}function utmx(){}
(function(){var k=’3550076386′,d=document,l=d.location,c=d.cookie;function f(n){
if(c){var i=c.indexOf(n+’=’);if(i>-1){var j=c.indexOf(‘;’,i);return escape(c.substring(i+n.
length+1,j<0?c.length:j))}}}var x=f('__utmx'),xx=f('__utmxx'),h=l.hash;
d.write('’)})();
utmx(“url”,’A/B’);

var _gaq = _gaq || [];
_gaq.push([‘gwo._setAccount’, ‘UA-23116970-2’]);
_gaq.push([‘gwo._trackPageview’, ‘/3550076386/test’]);
(function() {
var ga = document.createElement(‘script’); ga.type = ‘text/javascript’; ga.async = true;
ga.src = (‘https:’ == document.location.protocol ? ‘https://ssl&#8217; : ‘http://www&#8217;) + ‘.google-analytics.com/ga.js’;
var s = document.getElementsByTagName(‘script’)[0]; s.parentNode.insertBefore(ga, s);
})();

>

Jangan Pernah Letih Mencintai Indonesia

Tak mudah mencintai Indonesia sekarang ini jika cita-cita berdirinya Republik Indonesia yang menjadi ukuran kecintaan kita kepadanya seperti yang ditulis dengan nyawa, darah, dan air mata rakyat serta para pendiri Republik Indonesia dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu “Mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Indonesia yang merdeka, bersatu, berdaular, adil, dan makmur.”

Serta, ditegaskan lagi dengan janji akan “membentuk suatu pemerintahan Negara Indonesia yang melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial”.

Maka, cita-cita tulus itu seolah kata-kata hampa tak bermakna yang membuat orang bertanya-tanya, mengapa harus tetap mencintai Indonesia?

Ketidakadilan Sosial

Apabila para pendiri bangsa itu masih bersama kita pada hari ini, apakah yang akan mereka lakukan?

Misalnya, anda adalah Sutan Sjahrir, salah seorang Bapak Bangsa seperti Sukarno, Hatta, Tan Malaka, dan Hos Tjokroaminoto, juga seperi Ibu Bangsa Kartini, Tjut Nyak Dien, Roehana Koedoes, dan Dewi Sartika yang meyakini bahwa “tiap manusia sungguh merdeka mengembangkan kehidupannya… dimana hal-hal jasmani tidak lagi menjadi halangan untuk kemajuan serta perkembangan.”

Pasti anda akan memperjuangkan politik nilai yang percaya bahwa politik sebagai sarana untuk mencapai kebahagiaan manusia, Politics is the science of the good for man, to be happiness (Aristoteles, The Nichomachean Ethics) bukan politik Machiavelian di mana politik hanya sarana untuk merebut dan mempertahankan kekuasaan.

Anda juga akan berjuang keras menjamin terlaksananya hak-hak asasi manusia Universal Declaration of Human Rights (PBB, 1948) serta hak-hak dasar sosial seperti hak untuk bekerja juga haj jaminan hidup untuk warga Negara yang tidak mampu bekerja karena pengangguran, cacat, sakit, atau lanjut usia, dan bebas dari kelaparan seperti Konvenan Internasional Ekonomi, Sosial, dan Budaya (PBB 1966 dan UU No 11 Tahun 2005) serta konvenan Internasional Sipil dan Politik (PBB 1966 dan UU No 12 Tahun 2005).

Jadi, apakah kemerdekaan itu? Perjuangan untuk membebaskan manusia dari pengisapan, penindasan, dominasi, dan penghinaan oleh manusia lainnya. Kemerdekaan individual dan kemelaratan social. Menundukkan pemenuhan hak-hak sipil, politik, ekonomi, social, dan budaya setiap warga Negara.

Nyatanya, setelah 65 tahun merdeka, ada 35 juta penduduk miskin atau 15,2 % populasi (BPS, 1 Juli 2008). Jika garis kemisikinan menjadi 2 dollar AS per hari, orang miskin mencapai 52 persen populasi. Ada 4.516.100 dari 9.427.600 orang yang masuk kategori pengangguran terbuka adalah lulusan, SMA, SMK, diploma, dan universitas (Februari 2008). Kemudian, 4 juta anak kurang gizi. Misalnya, Dinas Kesehatan Kabupaten Bogor mencatat, 18 Juni 2010, ada 147 anak balita yang mengalami gizi buruk, ada 9 anak balita penderita gizi buruk yang meninggal.

Ketimpangan social juga semakin melebar, laporan BPS (income distribution of classification World Bank: BPS, 2002 – 2006), untuk 20 persen pendapatan tertinggi rata-rata meraih 42 persen kue nasional (42,07 persen pada 2004 dan 44,78 persen pada 2005). Sementara unyuk 40 persen pendapatan terendah rata-rata 20 persen kue nasional (20,80 persen pada 2004 dan 18,81 persen pada 2005).

Pendidikan sangat memprihatinkan dengan 11 juta anak buta huruf tidak pernah sekolah, 4.370.492 anak putus SD, dan 18.296.332 anak putus SMP.

Bahkan, wakil rakyat sibuk mengurus dirinya sendiri dengan usulan rumah aspirasi untuk 560 anggota DPR di danai APBN senilai Rp. 200 juta per orang per tahun. Sebelumnya dana aspirasi senilai 15 milliar per orang per tahun, juga asumsi Rp. 66 juta per orang per tahun, serta meminta gedung baru DPR senilai Rp. 1,8 triliun. Selain pejabat publik, elite parpol berkuasa dan kepala daerah juga sibuk korupsi.

Kesejahteraan dan Demokrasi

Pendiri bangsa kita memilih Negara kesejahteraan dalam pengertian Robert E. Godlin (The Real Worlds Welfare Capitalism, 1999), yaitu (1) mengurangi kemisikinan, (2) memajukan kesejahteraan social (mengurangi ketimpangan social), (3) memajukan stabilitas social, (4) memajukan inkluisi social dan menghindari eksklusi social, serta (5) memajukan efisiensi ekonomi.

Suatu Negara kesejahteraan social-demokrat adalah Negara dengan jaminan social universal dan kelompok target luas serta tingkat demodifikasi ekstensif seperti Swedia, Denmark, Norwegia, Finlandia, dan Belanda. Dengan demikian, Negara kesejahteraan bukan hanya suatu mekanisme melakukan intervensi atau mengoreksi struktur ketidaksetaraan, melainkan juga suatu kekuatan dinamis menata ulang relasi social.

Bung Karno menyebut sosiodemokrasi, Bung Hatta menyebut demokrasi ekonomi, dan Sutan Sjahrir berupaya keras mewujudkan Negara kesejahteraan sebagai perdana menteri pertama RI (15 November 1945 – 3 Juli 1947).

Tentu saja sejumlah program kesejahteraan yang di-impikan Bapak atau Ibu Bangsa sejak merintis kemerdekaan tak bias dijalankan secara sempurna pada awal kemerdekaan. Seperti (1) mengusahakan menghilangkan pengangguran dan ekploitasi manusia oleh manusia, (2) mengusahakan perwujudan asas kerakyatan dalam perusahaan, serta (3) penyempurnaan undang-undang perburuhan dan jaminan social.

Kemudian, (4) menjamin hak dasar social; hak untuk bekerja, hak untuk menerima upah yang mencukupi kebutuhan buruh sekeluarga, hak untuk mendapatkan penghasilan yang sama untuk pekerjaan yang sama, hak untuk beristirahat, hak untuk memperoleh perawatan kesehatan jika sakit atau hamil, hak jaminan hidup untuk warga Negara yang tidak mampu bekerja karena pengangguran, cacat, sakit, atau lansia. Kita ditantang keras untuk mewujudkan cita-cita kemerdekaan social tersebut.

Membandingkan cita-cita kemerdekaan dengan realitas social kita setalah 65 tahun adalah upaya membangkitkan kritis (Paulo Freire, Pendidikan Kaum Tertindas), yaitu, “membuka jalan kea rah pengungkapan ketidakpuasan social secara tepat karena ketidakpuasan itulah unsure nyata dari sebuah situasi yang menindas”.

Muncul optimisme bahwa kemiskinan, kebodohan, ketimpangan social, ketidakpedulian dapat kita atasi bersama secara rasional dan realitas. Jadi, bagaimana cara mencintai Indonesia? Kata Sutan Sjahrir dalam Renungan Indonesia, “Aku cinta pada negeri ini, terutama barangkali karena aku selalu mengenal mereka sebagai pihak yang menderita, pihak yang kalah”. Karena itu, optimislah dan jangan pernah letih mencintai Indonesia.

MENJALANI EKSPERIMEN DEMOKRASI

“Kita tak ingin menjadikan Indonesia laboratorium demokrasi … karena begitu penting dan strategisnya perubahan UUD 1945, maka semua pihak harus mau dan mampu mengesampingkan semua keinginan untuk memperjuangkan kepentingan sesaat, kepentingan sendiri atau kepentingan kelompok … “

Itulah pemandangan umum Fraksi TNI/Polri yang disampaikan juru bicaranya, Christina M, Rantatena, dalam Sidang Umum MPR, Sabtu, 10 Agustus 2002. Sikap politik yang disampaikan sebelum pengesahan Perubahan Keempat UUD 1945 sempat memunculkan ketidakpastian dalam Sidang Umum MPR. Namun, melalui proses lobi, ketegangan itu segera cair.

Tengag malam, Ketua Fraksi TNI/Polri Slamet Supriyadi maju ke podium dan berpidato, “Fraksi TNI/Polri tidak berniat menghambat amandemen UUD 1945. Karena itu, Fraksi TNI/Polri menarik usulan pembentukan Komisi Konstitusi di dalam Aturan Tambahan UUD 1945.”

Suasana lega. Ketua MPR Amien Rais mengetukkan palu tanda disahkannya Perubahan UUD 1945, Sabtu 10 Agustus 2002, pukul 23.55. Indonesia memasuki era baru dengan konstitusi yang substansinya baru. Sebuah revolusi dalam system pemerintahan Indonesia (Dalam, Budiman Tanuredjo, 2010).

Waktu terus berjalan. Bangsa Indonesia melangkah meskipun jatuh bangun dalam membangun demokrasi. Diawali dengan demokrasi parlementer atau demokrasi liberal (1950-1959), demokrasi terpimpin (1959-1956) di bawah Sukarno, menuju demokrasi Pancasila (1967-1998) di bawah control Soeharto. Ketiga model demokrasi itu tidak berakhir dengan baik. Pasca Orde-Baru, demokrasi sedang mencari bentuknya, entah menuju demokrasi liberal atau model lain. Pemilihan presiden langsung adalah revolusi. Bukan hanya prersiden yang dipilh langsung, gubernur, walikota, dan bupati pun dipilih langsung. Ini pertama kalinya dalam sejarah Republik Indonesia rakyat memilih sendiri pemimpinnya.

Demokrasi banyak disuarakan di era Reformasi. Namun, mencari definisi demokrasi dalam konstitusi tidak mudah. Dalam UUD 1945 hanya terdapat dua kata demokrasi. Satu dalam kata sifat, yakni  “demokratis” dan “demokrasi”. Pertama dalam pasal 18 menyebutkan: pemilihan kepala daerah dipilih secara demokratis dan pada pasal 33 soal demokrasi ekonomi. Tafsir demokrasi seakan diserahkan kepada siapapun.

Laboratorium demokrasi, seperti dikatakan Chtristina, masih terus berjalan. Eksperimentasi demokrasi mewujud dengan pemungutan suara. Voting menjadi kata kunci. Mayoritas-minoritas. Menang tau kalah.

Kita sedang dihadapkan pada keprihatinan di mana demokrasi yang mewujud dalam pilkada menghadirkan pimpinan yang terjerat kasus korupsi atau pimpinan yang menjadi actor penghambat kebebasan konstitusional, termasuk di dalamnya kebebasan beragama. Fareed Zakaria mengutip diplomat Amerika, Richard Hoolbroke, “Anggaplah pemilu berjalan bebas dan adil. Dan mereka yang terpilih adalah orang rasis, fasis, separatis yang secara terbuka menentang perdamaian.” Itu bisa terjadi dalam demokrasi. Demokrasi bisa berkembang tetapi kebebasan constitutional tidak.

Jack Snyder dalam From Voting to Violence (2000) menyampaikan pesan, “Membangun demokrasi bukan hanya menyingkirkan penguasa otoriter, dan selanjutnya demokrasi akan langgeng”. Snyder berpesan hati-hati menjalankan demokrasi karena berpotensi memunculkan guncangan.

Transisi demokrasi di Indonesia membuat demokrasi menjadi sesuatu yang eksplosif. Karena ekplosif sering tanpa control, ditambah factor lemahnya Negara, sering terjadi eksplosi berujung anarki.

Pusat informasi Kompas mencatat, dalam kurun waktu Mei 2005 – Juli 2010 paling tidak terjadi 49 konflik horizontal akibat pemilihan kepala daerah, protes massa berubah menjadi anarki yang mengerikan.

Gejala eksplosi demokrasi mulai memunuculkan kesadaran baru. Ketua MK Mahfud MD mengatakan, pilkada langsung perlu ditinjau ulang. Alasannya, pilkada langsung merusak moral masyarakat. Kerusakan itu massif karena melibatkan seluruh rakyat (Tempo, 3 Agustus 2010).

Apa yang sebenarnya terjadi dalam eksperimen demokrasi Indonesia? Prof. Azyumardi Azra, Guru Besar UIN Jakarta, menyebut euphoria demokrasi tidak berjalan sejajar dengan peningkatan pemahaman soal demokrasi itu sendiri. Kebebasan kerap disalah artikan sebagai “Kebebasan tanpa aturan”. (Lawness freedom) dan tanpa kepatuhan pada hukum.

Gejala kekerasan yang terjadi menunjukkan masih jauhnya pemahaman demokrasi sebagai art of compromise. Mengalami demokrasi masih menjadi sesuatu yang baru. Demokrasi tidak cukup dikembangkan sendiri, ia harus disemaikan, dipupuk secara terencana. Ia membutuhkan pendidikan kewargaan yang mencakup democracy education, civic education, dan citizenship education.

Dalam pidato 1 Juni 1945 di depan anggota Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai, Sukarno berpidato, “ … Dasar itu jalah dasar mufakat, dasar perwakilan, dasar permusjawaratan. Negara Indonesia bukan satu Negara untuk satu orang, bukan Negara untuk satu golongan, walaupun golongan kaja. Tetapi kita mendirikan Negara, ‘semua buat semua’, satu buat semua, semua buat satu. Saja jakin bahwa sjarat jang mutlak untuk kuatnja Negara Indonesia ialah permusjawaratan perwakilan”. (Tjamkan Pantja Sila! Pantja Sila Dasar Negara, editor: Amin Arjono, 2002).

Sedangkan bagi M. Hatta, ada lima unsure demokrasi khas Indonesia, yakni, rapat, mufakat, gotong royong, hak mengajukan protes bersama, dan hak menyingkir dari kekuasaan raja yang tidak adil.

Musywarah mufakat menjadi kata kunci. Tetapi praksis politik menunjukkan pudarnya permusyawaratan untuk mufakat. Tren baru mengarah pada demokrasi transaksional. Partai politik menjadi penyewa perahu bagi kandidat untuk maju dalam pilkada; dan itu uang.

Kapitla menjadi salah satu factor penting. Era pragmatism politik tiba. Tak heran jika calon gubernur harus menyiapkan dana puluhan milliard untuk maju dalam pilkada. Lalu, bagaimana dengan mereka yang tidak memiliki capital? Akankah politik dikuasai kelompok capital besar?

Apa yang terjadi saat ini mengingatkan kita pada tulisan Sukarno 69 tahun lalu dalam pemandangan, 1941. Sukarno menulis, “… karena biasanja kaum borjuislah yang mendapat bnayak kursi. Mereka kaum borjuis, punja radio-radio, mereka punja bisokop-bioskop, mereka punja sekolah-sekolah, mereka punja geredja-geredja, mereka punja partai-partai, semuanja itu biasanja dapatlah menjamin suara tebanjak bagi borjuis. Semuanya itu mandjamin, bahwa biasnja utusan-utusan rakjat djelata kalah suara.” (Dibawah Bendera Revolusi, 1965, halaman 586).

Eksperimentasi demokrasi yang berjalan hampir Sembilan tahun seharusnya menciptakan kesadaran baru. Demokrasi tak mungkin dilepas dan diserahkan kepada para pelaku yang menafsirkan sendiri bagaimana demokrasi dipraktikkan, demokrasi politik juga tak akan bisa bertahan tanpa demokrasi ekonomi yang bermakna keadilan social.

PARODI ZAMAN INI

Banyak orang tak risi memamerkan kekayaan, ditonton jutaan orang mengais sisa rezeki untuk bertahan hidup. Iklan-iklan yang menawarkan gaya hidup mewah bertebaran, ditonton orang-orang dengan perut lapar dan mata kosong.

Tuntutan masyarakat yang kehilangan hak hidup akibat kerusakan social-ekologis dan perampasan sumber daya menjadi parodi. Para pelaku, penguasa sumber daya (ekonomi dan politik), tak sulit mematut dalih untuk membalikkan posisi korban sebagai pelaku kekerasan.

Kemanusiaan menampakkan wajahnya saat terjadi bencana. Namun, tak sulit juga mengenarai solidaritas itu semu dan tersekat, bersifat karikatatif dan sangat sementara. Bahkan tak sedikit yang memanfaatkan untuk kepentingan politik, melalui umbul-umbul bernuansa keagamaan atau bendera berlambang partai.

Selama berabad-abad warga tak dididik belajar menghormati hidup, sebaliknya terus-menerus dipaksa belajar berlutut di hadapan kekerasan sekalipun dengan softpower untuk kemudian ikut memproduksi dan mereproduksi kekerasan.

Sejarah negeri ini mengenal kekerasan dalam spectrum luas, mulai dari amuk massa dan kekalapan tak terkendali (amok), sampai kekerasan pasif, seperti pepe, tindakan protes dengan menyakiti diri sendiri. Warga tidak pernah dididik secara sistematis untuk belajar bernegoisasi dengan kedudukan setara sehingga membuat wajah kekuasaan tampak rakus dan keji. Juga tak terlihat jejak pembelajaran tentang dampak kekerasa, seberapapun kejam dan luas sekalanya.

Previous Older Entries