Prognosis Resesi Global

Resesi global bisa dikatakan sebagai periode suram dalam perekonomian dunia. Betapa tidak, resesi global yang walaupun diawali dari AS ini dampaknya begitu dirasakan oleh dunia terutama oleh mitra dagangnya serta para kreditur yang menyimpan assetnya di pasar keuangan AS. Berbeda dengan the Great Depression 1930-an, sangat eratnya dependensi pasar ekonomi global dengan AS berdampak sangat menyebar ke berbagai penjuru dunia.

Resesi global sejatinya merupakan arus turbulensi global yang bersifat chaotic sehingga menjadi sulit diprediksi. Tak banyak ekonom yang dulu memprediksi akan terjadi resesi global saat ini dan walaupun ada yang telah dapat memprediksinya seperti Nouril Roubini. Akan tetapi, seberapa besar krisis dan dampaknya tampaknya belum pernah terprediksi secara tepat. Di samping itu, terlihat terdapat beberapa hal yang menjadi permasalahan, baik secara teoritis maupun secara praktis belum terselesaikan secara tuntas. Pertanyaan yang sering mengemuka adalah seberapa lama dan seberapa parah resesi global ini akan terus terjadi? Apakah potensi untuk krisis ini akan tetap ada? Inilah yang menjadi bahan kajian dan perdebatan berbagai ekonom dunia hingga saat ini.

Sejumlah proyeksi dilakukan oleh berbagai lembaga dan para ekonom dunia. Blanchard (2009) melakukan investigasi bahwa walaupun puncaknya adalah tahun 2009 periode II dan III, krisis akan tetap berlanjut sampai 2010 atau 2011. Perlu kita garis bawahi bahwa prediksinya hanyalah prediksi jangka pendek yang tentu saja belum tentu meng-address permasalahan fundamental krisis itu sendiri. Menurut Blanchard, pasca guncangan Lehman Brothers, pasar keuangan AS saat ini sedang melakukan recovery, risk premium juga terus menurun. Di samping itu, stimulus fiskal dan respon the Fed sedang berjalan dengan maksud untuk mengatasi resesi berkelanjutan. Tingkat pertumbuhan hasil proyeksi telah mencapai titik dasarnya pada kuarter III atau IV 2009 dan kemudian rebound lagi pada periode setelahnya. Di samping itu, Negara negara emerging economies dan negara berkembang diperkirakan akan memiliki tingkat growth yang melebihi negara-negara maju dan rata-rata dunia.

Pertanyaan berikutnya adalah apakah tingkat pertumbuhan negara-negara di dunia akan mencapai tingkat yang sama seperti periode sebelum resesi global? Jawabannya tentu saja tidak. Imbas rendahnya permintaan dunia terutama AS, hampir semua negara apalagi terutama yang berorientasi ekspor (export-led growth countries), seperti negara-negara Asia dan Jerman, akan mengalami perlambatan pertumbuhan. Pasca krisis, dalam jangka yang lebih panjang, para ekonom memprediksi bahwa tingkat growth periode sebelum krisis akan sangat sulit dicapai karena beberapa hal sebagai berikut (Rogers, 2009). Pertama, permintaan utang masyarakat yang tinggi seperti di masa lalu tidak akan kembali. Artinya para pengutang, terutama AS, tetaplah berutang, hanya saja tingkat utang mereka tidak sebanyak periode sebelum krisis. Kedua, telah berlalunya periode ‘shadow banking’ system. Ketiga, regulasi regulasi yang semakin diperketat dalam sektor finansial yang kemudian akan menghambat permintaan kredit.

Prognosis berikutnya adalah terjadinya pergeseran orientasi ekonomi, terutama orientasi ekspor. Dalam hal ini, negara-negara yang berorientasi ekspor lambat laun akan “mengubah” orientasinya menjadi lebih mendorong ekonomi domestiknya, misalnya dengan program infrastruktur, perbaikan sarana sosial dan kebijakan ekspansif lain. Di samping itu, dalam perdagangan internasional, target pasar ekspor akan terus berubah mencari pasar-pasar non tradisional di samping pasar domestiknya.

Prognosis selanjutnya adalah implikasi dari dua hal yang pertama, kedua faktor di atas akan menekan tingkat growth dunia dalam jangka menengah dikarenakan proses adjustment yang terkendala. Adalah sangat sulit mengubah pola orientasi ekonomi dari consumption-driven menjadi savings-driven di negara-negara Barat secara seketika dan begitu pula sebaliknya, apalagi ditambah permasalahan perubahan perilaku sosial budaya.

Terakhir, aksi-aksi spekulatif masih akan berlangsung tapi kali ini akan masuk ke pasar komoditas seperti minyak bumi dan emas. Pada periode resesi, harga minyak dunia jatuh secara signifikan karena permintaan dunia melemah, namun ketika ada recovery ekonomi global, harga minyak bumi lambat laun akan naik dan mau tidak mau akan mendorong tindakan spekulasi di pasar. Hal ini menjadikan PR tersendiri bagi regulator untuk mengatasi tindakan spekulatif yang bermuara pada potensi terjadinya bubble dan burst di kemudian hari.

Berbagai studi telah dilakukan untuk melihat sejauh apakah resesi global yang sekarang terjadi dengan melihat perbandingan kondisi saat ini (para ekonom sering menyebutnya dengan “the Great Recession”) dengan the Great Depression pada 1930-an. Studi-studi komparatif ini menarik dilakukan di samping untuk melihat seberapa jauh tingkat keparahan krisis juga untuk memperkirakan seperti apa dan seberapa lama recovery resesi global dibandingkan dengan yang apa yang telah terjadi pada saat the Great Recession tahun 1930-an. Salah satu di antaranya adalah studi yang dilakukan Eichengreen and O’Rourke (2009) yang mengkategorikan analisisnya pada besaran dan lama penurunan produksi industri manufaktur (manufacturing production), penurunan perdagangan dunia serta kejatuhan harga saham global. Hasil analisisnya menunjukkan bahwa secara global penurunan industrial production yang dalam 9 bulan awal resesi global relatif lebih dalam daripada 9 bulan pertama awal krisis 1929. Perkiraan ini memberikan ilustrasi awal bahwa resesi global relatif lebih buruk dari apa yang telah terjadi pada the Great Recession. Tambahan lagi, hal tersebut belum memasukkan luasnya dampak krisis (spread) ke berbagai penjuru dunia secara cepat.

Penurunan perdagangan dunia pun menunjukkan pola yang serupa dimana penurunan volume perdagangan dunia lebih cepat daripada periode 1929-1930. Hal yang sama terjadi pada penurunan pasar saham dunia. Investigasi Eichengreen dan O’Rourke (2009) menunjukkan bahwa pasar saham global saat ini bahkan menurun lebih cepat dan lebih tajam dari apa yang terjadi pada saat permulaan the Great Depression.

Singkatnya, menurut Eichengreen dan O’Rourke (2009), resesi global saat ini memiliki indikasi yang lebih buruk daripada the Great Depression, baik dari sisi penurunan industrial production, volume perdagangan internasional maupun pasar saham dunia. Dengan kata lain, argument mereka membantah statement yang menganggap kondisi resesi global saat ini yang terlalu optimistik. Implikasi lanjutannya tentu saja menyangkut lama recovery dari resesi global saat ini yang diperkirakan akan lebih lama dari the Great Recession. Bila pada the Great Depression dibutuhkan 3 tahun untuk keluar dari krisis, diprediksi resesi global saat ini mungkin bisa lebih lama dari itu untuk recovery. Kabar baiknya adalah bahwa respon kebijakannya relatif berbeda, data perkiraan fiscal deficit berdasarkan World Economic Outlook (IMF), dimana kemauan (willingness) untuk melakukan defisit fiskal saat ini lebih besar sesuai anjuran Neo Keynesian.

Keberuntungan Indonesia

Di tengah resesi global yang dialami oleh banyak negara di dunia, Indonesia sebagai mempunyai “keberuntungan yang tidak disengaja” sehingga dampak resesi global tidak sebesar apa yang dialami emerging economies yang lain, seperti dijelaskan berikut ini. Pertama, Indonesia tidak terlalu tergantung pada ekspor dimana pangsa ekspor Indonesia hanya kurang separuh dari GDP. Bandingkan misalnya dengan China dan Malaysia dan yang mempunyai porsi ekspor yang lebih besar (lebih dari 50 persen dari GDP). Singapura bahkan porsi ekspornya lebih besar daripada GDP. Di samping itu, porsi ekspor Indonesia tidak hanya ke AS, Eropa, Jepang tapi sudah mulai bergeser ke negara-negara ASEAN dan Timur Tengah sehingga penurunan terms of trade tidak sedalam negara-negara lain.

Kedua, sektor perbankan dan sektor finansial negara kita tidak mengalami dampak seberat negara lain karena tingkat dependency-nya tidak sedalam negara-negara lain. Di antara Negara ASEAN, tentu saja Singapura lah yang sektor finansianyal paling anjlok karena pasarnya sangat tergantung pasar keuangan AS. Sektor perbankan juga tidak terkena dampak secara langsung dan juga cukup terkonsolidasikan pasca pengalaman krisis ekonomi 1997-1998. Indikator kesehatan perbankan Indonesia bahkan relatif berada di atas rata-rata dari negara tetangga.

Ketiga, di samping terkena dampak yang relatif lebih kecil, penurunan bursa juga tidak akan terlalu memberikan pengaruh yang signifikan terhadap gejolak ekonomi dalam negeri karena pelaku pasar saham hanyalah 0,5 persen dari penduduk Indonesia.

Terakhir, Indonesia dapatlah dikatakan sebagai “self sustain economy” karena potensi pasar domestik yang sangat besar sehingga walaupun pasar luar negeri sedang lesu, pasar domestiknya sudah sangat besar. Tantangan berat juga terbuka dengan akan diberlakukannya berbagai perjanjian perdagangan bebas seperti halnya ACFTA (ASEAN-China Free Trade Agreement) dan berbagai perjanjian perdagangan bebas lainnya, potensi pasar domestik juga mengalami kompetisi yang cukup besar dari negara-negara kompetitor yang sudah lebih efisien struktur industri dan perdagangannya. Keberpihakan pemerintah terhadap industri domestic terutama UMKM dan sektor riil adalah keniscayaan.

Dari berbagai keberuntungan tersebut secara teori Indonesia mestinya hanya akan mengalami “shallow recession” yang akan berimplikasi bahwa tingkat “bounce back” Indonesia dari resesi akan melebihi rata-rata negara lain. Di samping itu, adalah sangat penting dicermati pergeseran orientasi negara-negara surplus yang besar seperti China dan negara-negara Timur Tengah yang saat ini tengah fokus pada program-program infrastrukturnya. Dengan keunggulan dan potensi ekspor komoditi Indonesia, peluang ekspor Indonesia setidaknya akan terjaga atau setidaknya tidak terlalu turun dramatis.

Unfinished Business

Sampai kapankah krisis ini akan berakhir dan apakah nanti akan terulang lagi? Jawabannya tidak ada satupun ekonom dunia yang berani memastikan ada tidaknya perulangan ini. Terlalu banyak ketidakpastian yang ada saat ini. OECD bahkan dalam salah satu reportnya menyatakan bahwa “the long-term growth effects are less clear” . Bahkan terkait lamanya recovery, tidak ada satupun ekonom yang dapat menentukan secara pasti kapankah krisis global akan terselesaikan. Ditambah dengan analisa penyebab dan solusi krisis yang belum teridentifikasi secara pasti, hal ini mengisyaratkan bahwa resesi global ini mungkin akan terus terjadi lebih lama dan lebih dalam lagi, tak hanya menyangkut analisa ekonomi dan statistik seperti telah kita bahas sebelumnya.

Satu penjelasan dari ini adalah bahwa kondisi saat ini tidak serta-merta merepresentasikan fenomena yang benar-benar murni cyclical seperti halnya siklus bisnis yang lazim. Hal ini terlihat dari kenaikan dan penurunan berbagai macam indikator yang terjadi sangat dramatis. Di samping itu, krisis yang sekarang terjadi merupakan implikasi dari hal-hal yang tidak disadari oleh banyak ekonom dan analis yang lebih fokus pada fluktuasi jangka pendek saja. Berbagai macam kesalahan dan “dosa” ekonomi yang sangat serius telah berkembang dalam perekonomian dunia selama berpuluh-puluh tahun yang dapat teridentifikasi dari berbagai macam ketidakseimbangan antara savings dan investasi, seperti halnya yang termanifestasi dari lebarnya current account imbalance dan meningkatnya budget deficit, kebijakan moneter dan nilai tukar, dan harga asset yang overvalued di masa lalu.

Walaupun berbagai penyesuaian dan pemulihan krisis global sedang berlangsung, terutama di AS dengan kebijakan-kebijakan counter-crisis-nya, sejatinya masih terdapat beberapa permasalahan yang belum sepenuhnya selesai ditanggulangi (unfinished business), terutama yang menyangkut dimensi internasional penyebab krisis. Adalah sangat sulit untuk memecahkan dimensi internasional karena ini menyangkut konsensus banyak negara dan akan bersinggungan dengan arah orientasi domestik masing-masing negara (national sovereignty). Di antara berbagai persoalan yang belum dapat diselesaikan adalah sebagai berikut.

Pertama, masih terjadi ketimpangan dalam keuangan global. Di satu pihak ada pemegang surplus (kreditor) yang besar, di lain pihak adalah pengutang yang terlampau besar besar. Dan lagi-lagi pengutang terbesarnya adalah negara-negara maju (terutama AS) dan negara-negara Eropa Timur. Pasca krisis, AS masih lah tetap pengutang terbesar, hanya saja pemegang utangnya telah beralih dulu dari perusahaan-perusahaan AS ke sektor pemerintahnya. Di samping itu, saat ini banyak cadangan devisa negara-negara surplus yang masih tetap di-recycle di pasar keuangan AS. Singkat kata, selama AS masih berorientasi pad penciptaan defisit yang cukup besar, ketidakseimbangan global akan tetap terjadi yang berimplikasi destabilisasi ekonomi tetap persisten dan berpotensi menjadi penyebab krisis di masa mendatang.

Kedua, dibutuhkan penataan ulang nilai-nilai tukar (realignment) yang semestinya mencerminkan nilai riilnya. Hal ini diperlukan untuk menjaga agar surplus perdagangan tidak terlampau menganga dan timpang di samping untuk membebaskan Jepang dari Liquidity Trap dan mengeliminasi Yen Carry Trade. Peranan lembaga keuangan seperti IMF perlu direvitalisasi dalam surveillance mata uang dunia. Kalau perlu, diperlukan tatanan moneter internasional baru (new international monetary order) yang dibutuhkan agar perekonomian global tetap dalam jalur pertumbuhan yang berkelanjutan (sustainable growth path) dan tentu saja menciptakan dunia baru yang lebih adil. Conflict of interest lembaga-lembaga keuangan internasional mau tak mau harus dihilangkan.

Terakhir adalah lebih menyangkut aspek teoritis dan ideologis. Adalah benar bahwa resesi global saat ini telah membuka mata dan membangkitkan kesadaran baik para ekonom teoritis, regulator dan pembuat kebijakan dalam mencari apa sebenarnya penyebab utama krisis ini. Secara teoritis, ekonom semakin tersadar bahwa penyebab utama krisis adalah kesalahan dalam kerangka dasar teori uang (theory of money) dan keuangan (finance) konvensional. Kesadaran dan keyakinan bahwa kemungkinan fragilitas dan instabilitas pasar-pasar keuangan global telah semakin mengemuka. Adalah peringatan Mussa (2009) dan Stiglitz (2003) yang menyatakan bahwa bila aktifitas dan pengambilan keputusan ekonomi semuanya diserahkan pada pelaku-pelaku ekonomi yang rasional (rational agents), terutama untuk melakukan self regulate yang menyangkut kebijakan publik, itulah sejatinya kebodohan bruto (gross stupidity) yang dilakukan. Semakin banyak saja ekonom yang dengan keras mengkritisi kebijakan “free market ideology” yang dikomandoi Greenspan yang telah membuat kebijakan fatal terjadinya krisis. Greenspan pun secara tegas menyatakan bahwa ia pun berkontribusi yang signifikan dalam menciptakan krisis saat ini.

Adalah seorang ekonom bernama Walter Bagehot yang bahkan semenjak 1873 yang lalu, memperkirakan bahwa sistem ini walaupun sangat efisien tapi sangat berpotensi menciptakan instabilitas sistem sehingga dibutuhkan kebijakan “managed with discretion”. Di samping itu, tak hanya ‘management with discretion’ yang sendirian akan dapat mengatasi fragilitas ini, dibutuhkan pula kebijakan publik dan pembuat kebijakannya yang paham tentang apakah sejatinya uang itu serta bagaimana sejarah uang dan pasar keuangan sebagai bahan pertimbangan mereka dalam kebijakan, tak hanya mengandalkan teori ekonomi konvensional dan data statistik yang ada.

Secara akademik, kritisi terhadap gagalnya peranan universitas dan lembaga riset juga dalam mendeliver “kejujuran” akademik pada kebijakan sehingga secara tidak langsung mereka pun ikut berkontribusi pada fragilitas perekonomian dunia. Kabar baiknya, para ekonom teoritis saat ini mulai melakukan assessment ulang terhadap prinsip-prinsip dasar konvensional. Mereka kini sudah mulai mengalihkan fokus perhatian pada gagasan non-konvensional seperti halnya yang diajukan oleh Minsky (1982, 1986), Stiglitz (2001) atau Soros (2008) di samping teori-teori Neo Klasik atau Neo Keynesian. Adalah niscaya bahwa permasalahan fundamental dan substansial tentu harus diselesaikan oleh solusi fundamental dan substansial pula.

All in all, ulasan kita memberikan sebuah titik simpul dimana tanpa adanya reformasi fundamental dalam sistem dan tatanan moneter dan keuangan internasional, volatilitas dan fragilitas pasar keuangan global di masa mendatang adalah sebuah konsekuensi logisnya. Dan, jika berbagai PR seperti tersebut di atas tidak terselesaikan secara sempurna, besar kemungkinan resesi global seperti yang saat ini terjadi bukanlah yang pertama dan bukan pula yang terakhir.